Call Center dan Cek Pulsa
Telkomsel
Call Center :
Halo : 111
Simpati dan AS : 116
Cek Pulsa :
Halo, Simpati AS :
Cek pulsa dan Pemakian berjalan : *888#
*untuk Halo harus ketik HC ON ke 333
Cek Pemakaian Terakhir : *887#
Cek bonus : *889#
email : cs@telkomsel.co.id
*******************************************************
Indosat
Call Center :
Mentari : 222
IM3 : 300 (free) / 100 (400/call)
Star One : 111
Cek Pulsa :
Mentari : *555#
IM3 : *388#
Star One : *555#
email : icare@indosat.com, customer_service@indosat.com
*******************************************************
XL
Call Center :
Bebas : 817 (350/call)
Jempol : 817 (350/call)
Xplor : 817 (free)
Cek Pulsa :
Bebas : *123#
Jempol : *123#
Xplor : *108# (cek limit)
email : customerservice@xl.co.id
*******************************************************
Axis
Call Center : 838
Cek Pulsa : *888#
Cek Pemakaian Terakhir : *887#
Cek bonus : *889#
email : cs@axisworld.co.id
*******************************************************
Three
Call Center : 123 dan 0896-4-4000-123 dari operator lainnya
Cek Pulsa : *111*1#
email : 3Care@three.co.id
*******************************************************
Flexy
Call Center : 147
Cek Pulsa : 999#
*******************************************************
Fren
Call Center : 888
Cek Pulsa : 999
*******************************************************
Esia
Call Center : *999
Cek Pulsa : *555#
Senin, 26 Desember 2011
Minggu, 18 Desember 2011
Peribahasa Penuh Makna
Peribahasa merupakan ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Beberapa diantaranya merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului perkataan “bak”, “laksana”, “bagai”, “umpama”, dan sebagainya. Kebanyakan peribahasa berisikan sindiran secara halus ataupun pepatah yang mengandung hikmah nasehat. Berikut ini adalah beberapa peribahasa beserta artinya.
(A)
Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Perilaku seorang anak, biasanya mencontoh dari orang tuanya.
Air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam
Tidak enak makan dan minum, sebab arti sangat terganggu.
Adakah dari telaga yang jernih, mengalir air yang keruh?
Orang-orang yang baik biasanya mengeluarkan kata-kata yang baik juga.
Air susu dibalas dengan air tuba.
Suatu kebaikan ternyata dibalas suatu keburukan.
Ayam bertelur di atas padi kelaparan, itik berenang di air kehausan.
Orang yang tinggal di negeri yang kaya, kalau tidak pandai berusaha akan tetap melarat.
Ayam bertelur sebutir pecah kabarnya ke seluruh negeri, penyu bertelur beribu-ribu seorangpun tiada tahu.
Bila orang kecil mendapat untung sedikit, sekampung tahu, tapi bila orang kaya memperoleh untung besar, seorangpun tiada yang tahu.
Ayam berkokok harikan siang.
Sudah ternyata, tanda pasti.
Anak badak dihambat-hambat.
Dengan sengaja mencari bahaya.
Asal berisi tembolok, senang hati.
Asal cukup sandang pangan, anak hatinya senang.
Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang sekampung dipertenggangkan.
Anak dan kemenakan dibela dan dipimpin ke jalan yang baik.
Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.
Bila melaksanakan sesuatu pekerjaan dalam kampung dan negeri, hendaknya berendi kepada adat dan agama.
Adat lama, pusaka usang.
Adat dari dahulu kala yang tetap tiada berubah-ubah.
Air tenang, menghanyutkan.
Hal orang yang pendiam, tetapi berilmu, sebab itu janganlah dianggap enteng saja.
Air jernih ikannya jinak.
Negeri yang aman tenteram sentosa dan penduduknya ramah-ramah.
Air dicincang tiada putus.
Sanak saudara yang berbantah itu, tidak akan menjadikan perceraian.
Air beriak, tanda tak dalam.
Orang yang banyak bualnya, biasanya pembohong tiada berilmu.
Awak yang tidak pandai menari dikatakan lantai yang terjungkat.
Tak tahu mengerjakan sesuatu pekerjaan, tetapi orang-orang lainlah yang disalahkan.
Awal dikenang, akhir tidak, alamat badan akan binasa.
Pada waktu muda hendaklah mengingat bekal untuk hari tua.
Anjing menyalak tiada menggigit.
Orang yang suka menggertak-gertak tidak akan sampai mendtngkan bahaya pada orang lain.
Asam di gunung, garam di laut, berjumpa dalam belanga.
Perihal dua orang yang tiada berkenalan dan berjuhan tempat, akhirnya bertemu menjadi suami istri.
Arang habis besi binasa.
Pekerjaan yang telah banyak menghabiskan tenaga dan biaya tetapi usaha itu tidak berhasil.
(B)
Belakang parangpun jika diasah akan tajam.
Orang yang bodohpun apabila rajin dan tekun belajar pasti akan pandai.
Bayang-bayang sepanjang badan.
Pengeluaran hendaklah disesuaikan dengan pendapatan.
Bertepuk sebelah tangan tiada akan berbunyi.
Suatu perbuatan, perjanjian itu tiada akan terlaksana bila hanya datang dari ebelah pihak saja.
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Berat ringan ditanggung bersama-sama.
Bulat air di pembuluh, bulat kata dimufakat.
Setelah berunding bersama-sama akhirnya jadi sepakat.
Barangsiapa yang berkotek, dialah yang bertelur.
Siapa yang menjawab sindiran orang, maka ialah yang membuat pekerjaan yang disindirkan tersebut.
Bermain air basah bermain api hangus.
Setiap orang akan menanggung akibat perbuatannya.
Binatang tahan malu, manusia tahan kias.
Mengajar manusia itu cukup dengan sindiran atau kias saja.
Berani karena benar, takut karena salah.
Orang yang benar berani, takut tentu salah.
Besar pasak daripada tiang.
Pengeluaran lebih besar dari penghasilan.
Berjenjang naik, bertangga turun.
Sesuatu pekerjaan hendaklah dikerjaan menurut peraturannya.
Bagai air di daun talas.
Pendirian yang selalu berubah-ubah.
Bagai hujan (air) jatuh ke pasir.
Memberi kepada seseorang yang tidak ada bekasnya.
Bagai punguk rindukan bulan.
Yang tidak mungkin dapat tercapai.
Bagai Belanda minta tanah.
Permintaan yang tidak habis-habisnya, karena lob dan tamak.
Bagai mengayuh biduk hilir.
Seseorang yang sangat gembira mengerjakan sesuatu pekerjan yang sangat mudah.
Bagai mendapat durian runtuh.
Mendapat keuntungan besar yang tidak disangka sama sekali.
Bagai kucing dibaakan lidi.
Seseorang yang sangat takut, karena berbuat kesalahan.
Bagai roda pedati, sekali ke atas, sekali ke bawah.
Kehidupan manusia tidak tetap, kadang-kadang kaya, kadang-kadang jatuh miskin.
Bagai aur dengan tebing.
Orang yang bersahabat karib, bertolong-tolongan dan tak dapat dipisahkan.
Bagai kacang direbus satu.
Anak muda yang tidak memiliki sopan-santun, duduk tegak dengan gelisah.
Bagai itik pulang petang.
Sangat lambat perjalanannya.
Berjalan peliharakan kaki, berbicara peliharakan lidah.
Harus diingat bahwa langkah yang salah dan perkataan yang jelek dapat mendatangkan kesusahan.
Baik berputih tulang daripada berputih mata.
Lebih baik mati daripada menanggung malu.
Bertanam tebu di bibir.
Seseorang yang manis tutur bahasanya karena hendak melakukan sesuatu tujuan tertentu.
Bersatu teguh, bercerai runtuh.
Kita kuat kalau bersatu, tetapi lemah kalau berpecah belah.
Berguru kepalang ajar, bagi bunga kembang tak jadi.
Segala pengetahuan yang tidak sempurna dipelajari, tidak akan mendatangkan manfaat.
(C)
Cacing hendak menjadi ular.
Orang yang hida dina dan miskin, meniru kelakuan orang yang mulia lagi kaya.
Cepat kaki ringan tangan.
Cekatan dan lekas mengerjakan sesuatu pekerjaan.
(D)
Dalam laut boleh diduga, dalam hati siapa tahu.
Tidak dapat kita ukur atau kita ketahui pikiran seseorang.
Dalam dua tengah tiga, telunjuk lurus kelingking berkait.
Seorang yang tidak jujur dan dapat dipercaya.
Datang tampak muka, pergi tampak punggung.
Datang dan prgi haruslah sama baiknya, dengan cara yang sopan dan tenggang rasa.
Dimana tiada rotan, akarpun berguna.
Bila dalam suatu negeri tak ada orang yang pandai, maka orang agak cerdik sangat terpandang.
Ditepuk air didulang, terpercik muka sendiri.
Bila diceritakan keaiban sendiri atau kecelakaan keluarganya, tentulah kita juga yang akan mendapat malu.
Disangka panas sampi petang, kiranya hujan tengah hari.
Disangka akan baik terus, tiba-tiba datng malapetaka.
Darah setampuk pinang, umur setahun jagung.
Seseorang yang masih muda dan bodoh, belum berpengalaman.
Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah.
Daripada melihat sesuatu yang menyakitkan hati, lebih baik mati.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Di mana kita tinggal, hendaklah mengikuti adat-istiadatnya.
Disangka pulut, ditanak berderai.
Seperti orang pandai, ternyata orang bodoh.
(E)
Esa hilang dua terbilang.
Berbuat sesuatu dengan amat berani.
(G)
Guru makan berdiri, murid kencing berlari.
Contoh seorang guru yang jelek akan mudah dicontoh oleh muridnya, yang kemungkinan perbuatan murid tidak senonoh dan lebih berat dari kejelekan guru itu.
Garam di laut asam di gunung, bertemu dalam belanga.
Jodoh itu tidak mengindahkan bangsa, derajat dan kekayaan.
Gabak di hulu tanda akan hujan, cewang di langit tanda akan panas.
Ada tanda-tanda sesuatu yang akan terjadi, maka dari itu hendaklah kita berhati-hati.
Gajah bertengger di pelupuk mata tiada tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang sangat besar, tiada kelihatan.
Gajah mati meninggalkan gading.
Orang besar atau orang baik kalau mati, selalu disebut juga kebaikannya.
(H)
Hidup segan mati tak mau, bagai kerakap di atas batu.
Orang yang hidupnya sangat menderita.
Hari pagi dibuang-buang, hari petang dikejar-kejar.
Akibat tak pandai membagi waktu, maka dalam melakukan suatu pekerjaan selalu tergesa-gesa.
Hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang juga.
Budi uang baik tidak akan dilupakan orang.
Harimau mati meninggalkan belang.
Orang yang pandai apabila mati meninggalkan jasa.
Harimau menyembunyikan kuku.
Orang pandai berlaku seperti orang yang dungu.
Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
Mengharapkan untung besar yang belum tentu didapat, keuntungan sedikit yang telah ditangan disia-siakan.
Hemat pangkal kaya, rajin pangkal pandai.
Barangsiapa ingin kaya hendaklah berhemat, dan teliti menabung, barangsiapa ingin pandai hendaklah rajin belajar.
Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri (namun lebih baik di negeri sendiri).
Walaupun mulia dan senangnya di perantauan, namun lebih terasa senang dan bahagia di daerahnya sendiri.
Hilang tak tentu rimbanya.
Hilang lenyap tanpa meninggalkan bekas.
(I)
Ibarat menghela rambut dalam tepung, rambut jangan putus, tepung jangan terserak.
Putusan yang adil dan bijaksana melegakan yang kalah maupun yang menang.
Ibarat ayam gadis bertelur.
Tidak tetap dalam mengerjakan pekerjaan.
Ibarat burung dalam sangkar, mata lepas badan terkurung.
Tidak kekurangan dalam makanan dan minuman tetapi tidak bebas.
Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis.
Sebelum terlambat, hendaklah hati-hati dalam mengeluarkan uang agar jangan mendapat kesusahan kelak.
(J)
Jika kain panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga.
Pengetahuan yang sedikit, janganlah meniru orang pandai, supaya kita jangan dicemoohkan orang.
Jika takut dilembur pasang, jangan berumah ditepi pantai.
Bila tidak senang dengan kebisingan jangan tinggal di tempat ramai.
Jauh panggang dari api.
Pekerjaan masih lama akan selesai.
Jinak-jinak merpati.
Seorang wanita yang kelihatannya mau menurut keinginan seseorang, padahal kalau bersungguh-sungguh ia menjauh.
Jangan dibangunkan ular tidur.
Musuh yang sudah diam jangan dibangkitkan amarahnya.
(K)
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah.
Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak ada bandingnya dan lestari sepanjang masa, namun kadang-kadang kasih sayang anak kepada ibunya hanya sedikit.
Kalah jadi abu, menang jadi arang.
Dalam sesuatu perselisihan kalah atau menang sama saja, sebab kedua-duanya sama-sama rugi
Katak hendak menjadi lembu.
Seseorang yang hendak meniru perbuatanorang lain, yang dia sendiri tidak akan mampu.
Ke lurah sama menurun, ke bukit sama mendaki.
Anggota perkumpulan itu hendaklah seia sekata. Sama-sama susah dan sama-sama senang.
Kepala sama berbulu, pendapat berlain-lain.
Tiap-tiap orang itu mempunyai kesenangan yang berbeda-beda.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Karena kesalahan yang kecil, maka segala kebaikan yang banyak akan hilang.
(L)
Lempar batu sembunyi tangan.
Melakukan pekerjaan yang mengakibatkan keonaran kemudian berusaha menghilangkan jejak.
Atau, senang mengerjakan sesuatu, tetapi tidak mau bertanggungjawab.
Lunak gigi dari lidah.
Seseorang yang berkata manis dan merendah karena akan mempunyai tujuan permintaan.
Lidah tiada bertulang.
Amat mudah mengeluarkan celaan dan kritikan.
Lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Tiap-tiap daerah berlainan adat-istiadatnya.
Licin bagai belut.
Belum pernah ditipu karena cerdik lagi waspada.
(M)
Manis bagai madu, pahit bagai empedu.
Kalau baik sangat baiknya, tetapi bila marah, sangat marahnya.
Malu-malu kucing.
Pura-pura malu.
Malu bertanya sesat di jalan.
janganlah kita malu-malu menanyakan sesuatu hal kepada orang lain agar kita tidak tersesat.
Membasuh arang di muka.
Menghapus rasa malu.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Sudah takdir, tak dapat dihindarkan lagi.
Musuh dalam selimut.
Musuh yang berasal dari sanak saudara atau kawan sendiri.
Musuh jangan dicari-cari bertemu pantang dielakkan.
Permusuhan jangan dicari-cari, tetapi bila laan memancing-mancing juga, janganlah mundur.
Menangguk di air keruh.
Suka mencari keuntungan dalam keadaan yang kacau-balau.
Menjilat air liur.
Dahulu dicela, sekarang dipuji-puji lagi.
Masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang kerbau menguak.
Di mana kita tinggal hendaklah mengikuti adat-istiadat setempat.
Masuk di telinga kanan, keluar di telinga kiri.
Tidak menuruti nasehat yang sudah diberikan.
Mempertinggi tempat jatuh.
Mencari alasan yang bukan-bukan untuk memperberat kesalahan.
Makan hati berulam jantung.
Amat bersusah hati akibat perbuatan orang lain.
Musang berbulu ayam.
Orang jahat berlaku seperti orang baik.
Membuang garam ke laut.
Memberi bantuan uang kepada orang yang kaya raya.
Meludah ke langit tertimpa muka sendiri juga.
Melawan orang yang berkuasa atau kaya, kita akan mendapat susah.
Membangkitkan batang terpendam.
Menimbulkan kembali nama baik atau keluarga atau negara yang tercela.
Mumbang jatuh kelapa jatuh.
Maut tidak memandang umur, baik tua atau muda dapat mati.
Mencabik baju di dada.
Membuka rahasia pribadi sendiri.
Menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan.
Mencelakakan teman sendiri dengan sembunyi-sembunyi atau khianat.
Menegakkan benang basah.
Mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sulit dipertahankan.
Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Bila menceritakan cela kaum keluarga sendiri, tentu kita sendiri yang akan mendapat malu.
(N)
Nasib seperti ayam, mengais dahulu baru makan.
Seseorang yang miskin, bekerja keras dahulu untuk mendapatkan sesuap nasi.
Nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri.
Sangat berduka cita.
Nasi sudah menjadi bubur, tak dapat dikedang lagi.
Kesalahan yang amat disesalkan karena tak dapat diperbaiki.
(O)
Orang makan nangka, awak kena getahnya.
Seseorang yang mendapat kesusahan dalam suatu perkara, padahal ia tidak tahu dalam urusan itu.
Obat jerih pelerai demam.
Yang sangat disayangi.
(P)
Pagar makan tanaman.
Orang yang wajib memelihara tetapi malah merusaknya.
Panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.
Kebaikan yang banyak, hilang seketika akibat kesalahan yang fatal.
Pikir itu pelita hati.
Sebelum mengerjakan sesuatu pekerjaan, hendaklah dipikirkan dahulu baik buruknya dan langkah-langkahnya.
Pandai berminyak air.
Pandai mempergunakan sesuatu yang kurang berharga, tetapi hasilnya sangat memuaskan.
Pandang jauh dilayangkan, pandang dekat ditukikkan.
Sesuatu hal yang telah dipertimbangkan masak-masak.
Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.
Supaya tidak menyesal nantinya, maka pikirlah masak-masak sebelum dikerjakan.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Mendapat sesuatu yang diperlukan.
(R)
Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.
Bila ingin pandai, rajin-rajinlah belajar, bila ingin kaya, hemat dan berhati-hatilah.
Rezeki elang tak kan didapat oleh musang.
Rezeki seseorang tidak akan diserobot oleh orang lain.
Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
seia sekata, susah senang sama-sama dirasakan.
Rugi menentang laba, jerih menentang boleh.
Biarlah bersusah payang, asal mendapatkan yang dicita-citakan.
Sekerat ular, sekerat belut.
Seseorang yang tak dapat dipercayai akibat pendiriannya tidak tetap.
Sekepal digunungkan, setitik dilautkan.
Pemberian seseorang walaupun sedikit hendaklah dijunjung tinggi.
Sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain.
Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.
Selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu.
Bersahabat karib.
Seperti mengadu ujung penjahit.
Perlawanan antara dua orang yang sama-sama cerdik, akibatnya tidak ada yang kalah.
Seperti duri dalam daging.
Selalu ingat perasaan yang kurang menyenangkan pikirannya.
Seperti cacing kepanasan.
Seseorang yng sangat gelisah sebab mendapat malu.
Seperti telur diujung tanduk.
Belum tetap dalam suatu pekerjaan, bila salah sedikit saja dapat diberhentikan.
Seperti abu di atas tunggul.
Seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan dalam suatu pekerjaan, bila berbuat salah dapat diberhentikan.
Seperti air di daun talas.
Cepat hilang tak berbekas.
Seperti anak ayam kehilangan induk.
Kesatuan yang pecah-pecah karena ditinggalkanoleh pemimpinnya.
Seperti anjing dengan kucing.
Dua orang yang tak pernah akur.
Seperti pungguk rindukan bulan.
Seseorang yang merindukan sesuatu yang sulit diperolehnya.
Seperti pinang dibelah dua.
Dua orang yang mirip betul.
Seperti api dalam sekam.
Kekecewaan yang dipendam terus, lama-lama akan membahayakan.
Seperti bergantung di rambut sehelai.
Selalu cemas dan sangat tipis harapannya untuk mendapat pertolongan.
Seperti ilmu padi makin berisi, makin tunduk.
Makin tinggi ilmunya makin halus budi pekertinya.
Sepandai-pandai tupai melompat, sekali akan jatuh juga.
Sepandai-pandai orang, barang sekali tentu akan ada pekerjaan yang salah.
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Sekali ketahuan perbuatan yang tidak baik, seumur hidup orang tak mempercayai.
Setinggi-tinggi terbang bangau, hinggapnya ke kubangan juga.
Sejauh-jauh merantau, akhirnya besuk kembali ke kampungnya juga.
(T)
Tangan mencencang, bahu memikul.
Siapa yang membuat salah, harus menanggung akibatnya.
Tegak sama tinggi, duduk sama rendah.
Sama tinggi kedudukannya.
Tong kosong, nyaring bunyinya.
Orang yang besar omongnya itu, biasanya orang yang tidak berilmu.
Tertumpang di biduk tiris.
Sudah terlanjur mengikuti pekerjaan yang merugikan.
Telunjuk lurus, kelingking berkait.
Seseorang yang lahirnya kelihatan baik, tetapi sebenarnya jahat hatinya.
Tinggal kulit pembalut tulang.
Orang yang merana sehingga badannya kurus.
Tak ada gading yang tak retak.
Tak ada sesuatu pekerjaan yang sempurna.
Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Peraturan yang tak pernah berubah.
Tak air talang dipancung.
Untuk menyampaikan sesuatu maksud yang baik, tidak malu melakukan apa saja.
Tak emas bungkal di asah, tak kayu jejang dikeping.
Dikala memerlukan uang, diusahakan sedapat-dapatnya walaupun dengan jalan menjual barang, asal maksud tercapai.
Tiba diperut dikempiskan, tiba dimata dipicingkan.
Seseorang pemimpin yang tidak adil, bila keluarganya yang salah ia pura-pura tidak tahu, tetapi bila orang lain yang bersalah, terus mencelanya.
(U)
Ular berkepala dua.
Kadang-kadang memihak kawan, kadang-kadang memihak lawan.
(Y)
Yang merah saga, yang kurik kundi, yang indah bahasa, yang baik budi.
Walaupun cantik rupawan, tetapi bila tidak berbudi, tidak akan dihormati.
Yang pekak pelepas bedil, yang buta penghembus lesung, yang lumpuh penghalau ayam.
Keahlian tiap-tiap orang dapat dimanfaatkan berdasarkan keahliannya masing-masing.
(Z)
Zaman beralih, musim bertukar.
Sesuatu itu akan berubah, menurut kehendak zaman dan kodrat Tuhan.
Sumber: 1160 peribahasa indonesia
(A)
Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Perilaku seorang anak, biasanya mencontoh dari orang tuanya.
Air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam
Tidak enak makan dan minum, sebab arti sangat terganggu.
Adakah dari telaga yang jernih, mengalir air yang keruh?
Orang-orang yang baik biasanya mengeluarkan kata-kata yang baik juga.
Air susu dibalas dengan air tuba.
Suatu kebaikan ternyata dibalas suatu keburukan.
Ayam bertelur di atas padi kelaparan, itik berenang di air kehausan.
Orang yang tinggal di negeri yang kaya, kalau tidak pandai berusaha akan tetap melarat.
Ayam bertelur sebutir pecah kabarnya ke seluruh negeri, penyu bertelur beribu-ribu seorangpun tiada tahu.
Bila orang kecil mendapat untung sedikit, sekampung tahu, tapi bila orang kaya memperoleh untung besar, seorangpun tiada yang tahu.
Ayam berkokok harikan siang.
Sudah ternyata, tanda pasti.
Anak badak dihambat-hambat.
Dengan sengaja mencari bahaya.
Asal berisi tembolok, senang hati.
Asal cukup sandang pangan, anak hatinya senang.
Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang sekampung dipertenggangkan.
Anak dan kemenakan dibela dan dipimpin ke jalan yang baik.
Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.
Bila melaksanakan sesuatu pekerjaan dalam kampung dan negeri, hendaknya berendi kepada adat dan agama.
Adat lama, pusaka usang.
Adat dari dahulu kala yang tetap tiada berubah-ubah.
Air tenang, menghanyutkan.
Hal orang yang pendiam, tetapi berilmu, sebab itu janganlah dianggap enteng saja.
Air jernih ikannya jinak.
Negeri yang aman tenteram sentosa dan penduduknya ramah-ramah.
Air dicincang tiada putus.
Sanak saudara yang berbantah itu, tidak akan menjadikan perceraian.
Air beriak, tanda tak dalam.
Orang yang banyak bualnya, biasanya pembohong tiada berilmu.
Awak yang tidak pandai menari dikatakan lantai yang terjungkat.
Tak tahu mengerjakan sesuatu pekerjaan, tetapi orang-orang lainlah yang disalahkan.
Awal dikenang, akhir tidak, alamat badan akan binasa.
Pada waktu muda hendaklah mengingat bekal untuk hari tua.
Anjing menyalak tiada menggigit.
Orang yang suka menggertak-gertak tidak akan sampai mendtngkan bahaya pada orang lain.
Asam di gunung, garam di laut, berjumpa dalam belanga.
Perihal dua orang yang tiada berkenalan dan berjuhan tempat, akhirnya bertemu menjadi suami istri.
Arang habis besi binasa.
Pekerjaan yang telah banyak menghabiskan tenaga dan biaya tetapi usaha itu tidak berhasil.
(B)
Belakang parangpun jika diasah akan tajam.
Orang yang bodohpun apabila rajin dan tekun belajar pasti akan pandai.
Bayang-bayang sepanjang badan.
Pengeluaran hendaklah disesuaikan dengan pendapatan.
Bertepuk sebelah tangan tiada akan berbunyi.
Suatu perbuatan, perjanjian itu tiada akan terlaksana bila hanya datang dari ebelah pihak saja.
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Berat ringan ditanggung bersama-sama.
Bulat air di pembuluh, bulat kata dimufakat.
Setelah berunding bersama-sama akhirnya jadi sepakat.
Barangsiapa yang berkotek, dialah yang bertelur.
Siapa yang menjawab sindiran orang, maka ialah yang membuat pekerjaan yang disindirkan tersebut.
Bermain air basah bermain api hangus.
Setiap orang akan menanggung akibat perbuatannya.
Binatang tahan malu, manusia tahan kias.
Mengajar manusia itu cukup dengan sindiran atau kias saja.
Berani karena benar, takut karena salah.
Orang yang benar berani, takut tentu salah.
Besar pasak daripada tiang.
Pengeluaran lebih besar dari penghasilan.
Berjenjang naik, bertangga turun.
Sesuatu pekerjaan hendaklah dikerjaan menurut peraturannya.
Bagai air di daun talas.
Pendirian yang selalu berubah-ubah.
Bagai hujan (air) jatuh ke pasir.
Memberi kepada seseorang yang tidak ada bekasnya.
Bagai punguk rindukan bulan.
Yang tidak mungkin dapat tercapai.
Bagai Belanda minta tanah.
Permintaan yang tidak habis-habisnya, karena lob dan tamak.
Bagai mengayuh biduk hilir.
Seseorang yang sangat gembira mengerjakan sesuatu pekerjan yang sangat mudah.
Bagai mendapat durian runtuh.
Mendapat keuntungan besar yang tidak disangka sama sekali.
Bagai kucing dibaakan lidi.
Seseorang yang sangat takut, karena berbuat kesalahan.
Bagai roda pedati, sekali ke atas, sekali ke bawah.
Kehidupan manusia tidak tetap, kadang-kadang kaya, kadang-kadang jatuh miskin.
Bagai aur dengan tebing.
Orang yang bersahabat karib, bertolong-tolongan dan tak dapat dipisahkan.
Bagai kacang direbus satu.
Anak muda yang tidak memiliki sopan-santun, duduk tegak dengan gelisah.
Bagai itik pulang petang.
Sangat lambat perjalanannya.
Berjalan peliharakan kaki, berbicara peliharakan lidah.
Harus diingat bahwa langkah yang salah dan perkataan yang jelek dapat mendatangkan kesusahan.
Baik berputih tulang daripada berputih mata.
Lebih baik mati daripada menanggung malu.
Bertanam tebu di bibir.
Seseorang yang manis tutur bahasanya karena hendak melakukan sesuatu tujuan tertentu.
Bersatu teguh, bercerai runtuh.
Kita kuat kalau bersatu, tetapi lemah kalau berpecah belah.
Berguru kepalang ajar, bagi bunga kembang tak jadi.
Segala pengetahuan yang tidak sempurna dipelajari, tidak akan mendatangkan manfaat.
(C)
Cacing hendak menjadi ular.
Orang yang hida dina dan miskin, meniru kelakuan orang yang mulia lagi kaya.
Cepat kaki ringan tangan.
Cekatan dan lekas mengerjakan sesuatu pekerjaan.
(D)
Dalam laut boleh diduga, dalam hati siapa tahu.
Tidak dapat kita ukur atau kita ketahui pikiran seseorang.
Dalam dua tengah tiga, telunjuk lurus kelingking berkait.
Seorang yang tidak jujur dan dapat dipercaya.
Datang tampak muka, pergi tampak punggung.
Datang dan prgi haruslah sama baiknya, dengan cara yang sopan dan tenggang rasa.
Dimana tiada rotan, akarpun berguna.
Bila dalam suatu negeri tak ada orang yang pandai, maka orang agak cerdik sangat terpandang.
Ditepuk air didulang, terpercik muka sendiri.
Bila diceritakan keaiban sendiri atau kecelakaan keluarganya, tentulah kita juga yang akan mendapat malu.
Disangka panas sampi petang, kiranya hujan tengah hari.
Disangka akan baik terus, tiba-tiba datng malapetaka.
Darah setampuk pinang, umur setahun jagung.
Seseorang yang masih muda dan bodoh, belum berpengalaman.
Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah.
Daripada melihat sesuatu yang menyakitkan hati, lebih baik mati.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Di mana kita tinggal, hendaklah mengikuti adat-istiadatnya.
Disangka pulut, ditanak berderai.
Seperti orang pandai, ternyata orang bodoh.
(E)
Esa hilang dua terbilang.
Berbuat sesuatu dengan amat berani.
(G)
Guru makan berdiri, murid kencing berlari.
Contoh seorang guru yang jelek akan mudah dicontoh oleh muridnya, yang kemungkinan perbuatan murid tidak senonoh dan lebih berat dari kejelekan guru itu.
Garam di laut asam di gunung, bertemu dalam belanga.
Jodoh itu tidak mengindahkan bangsa, derajat dan kekayaan.
Gabak di hulu tanda akan hujan, cewang di langit tanda akan panas.
Ada tanda-tanda sesuatu yang akan terjadi, maka dari itu hendaklah kita berhati-hati.
Gajah bertengger di pelupuk mata tiada tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang sangat besar, tiada kelihatan.
Gajah mati meninggalkan gading.
Orang besar atau orang baik kalau mati, selalu disebut juga kebaikannya.
(H)
Hidup segan mati tak mau, bagai kerakap di atas batu.
Orang yang hidupnya sangat menderita.
Hari pagi dibuang-buang, hari petang dikejar-kejar.
Akibat tak pandai membagi waktu, maka dalam melakukan suatu pekerjaan selalu tergesa-gesa.
Hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang juga.
Budi uang baik tidak akan dilupakan orang.
Harimau mati meninggalkan belang.
Orang yang pandai apabila mati meninggalkan jasa.
Harimau menyembunyikan kuku.
Orang pandai berlaku seperti orang yang dungu.
Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
Mengharapkan untung besar yang belum tentu didapat, keuntungan sedikit yang telah ditangan disia-siakan.
Hemat pangkal kaya, rajin pangkal pandai.
Barangsiapa ingin kaya hendaklah berhemat, dan teliti menabung, barangsiapa ingin pandai hendaklah rajin belajar.
Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri (namun lebih baik di negeri sendiri).
Walaupun mulia dan senangnya di perantauan, namun lebih terasa senang dan bahagia di daerahnya sendiri.
Hilang tak tentu rimbanya.
Hilang lenyap tanpa meninggalkan bekas.
(I)
Ibarat menghela rambut dalam tepung, rambut jangan putus, tepung jangan terserak.
Putusan yang adil dan bijaksana melegakan yang kalah maupun yang menang.
Ibarat ayam gadis bertelur.
Tidak tetap dalam mengerjakan pekerjaan.
Ibarat burung dalam sangkar, mata lepas badan terkurung.
Tidak kekurangan dalam makanan dan minuman tetapi tidak bebas.
Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis.
Sebelum terlambat, hendaklah hati-hati dalam mengeluarkan uang agar jangan mendapat kesusahan kelak.
(J)
Jika kain panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga.
Pengetahuan yang sedikit, janganlah meniru orang pandai, supaya kita jangan dicemoohkan orang.
Jika takut dilembur pasang, jangan berumah ditepi pantai.
Bila tidak senang dengan kebisingan jangan tinggal di tempat ramai.
Jauh panggang dari api.
Pekerjaan masih lama akan selesai.
Jinak-jinak merpati.
Seorang wanita yang kelihatannya mau menurut keinginan seseorang, padahal kalau bersungguh-sungguh ia menjauh.
Jangan dibangunkan ular tidur.
Musuh yang sudah diam jangan dibangkitkan amarahnya.
(K)
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah.
Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak ada bandingnya dan lestari sepanjang masa, namun kadang-kadang kasih sayang anak kepada ibunya hanya sedikit.
Kalah jadi abu, menang jadi arang.
Dalam sesuatu perselisihan kalah atau menang sama saja, sebab kedua-duanya sama-sama rugi
Katak hendak menjadi lembu.
Seseorang yang hendak meniru perbuatanorang lain, yang dia sendiri tidak akan mampu.
Ke lurah sama menurun, ke bukit sama mendaki.
Anggota perkumpulan itu hendaklah seia sekata. Sama-sama susah dan sama-sama senang.
Kepala sama berbulu, pendapat berlain-lain.
Tiap-tiap orang itu mempunyai kesenangan yang berbeda-beda.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Karena kesalahan yang kecil, maka segala kebaikan yang banyak akan hilang.
(L)
Lempar batu sembunyi tangan.
Melakukan pekerjaan yang mengakibatkan keonaran kemudian berusaha menghilangkan jejak.
Atau, senang mengerjakan sesuatu, tetapi tidak mau bertanggungjawab.
Lunak gigi dari lidah.
Seseorang yang berkata manis dan merendah karena akan mempunyai tujuan permintaan.
Lidah tiada bertulang.
Amat mudah mengeluarkan celaan dan kritikan.
Lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Tiap-tiap daerah berlainan adat-istiadatnya.
Licin bagai belut.
Belum pernah ditipu karena cerdik lagi waspada.
(M)
Manis bagai madu, pahit bagai empedu.
Kalau baik sangat baiknya, tetapi bila marah, sangat marahnya.
Malu-malu kucing.
Pura-pura malu.
Malu bertanya sesat di jalan.
janganlah kita malu-malu menanyakan sesuatu hal kepada orang lain agar kita tidak tersesat.
Membasuh arang di muka.
Menghapus rasa malu.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Sudah takdir, tak dapat dihindarkan lagi.
Musuh dalam selimut.
Musuh yang berasal dari sanak saudara atau kawan sendiri.
Musuh jangan dicari-cari bertemu pantang dielakkan.
Permusuhan jangan dicari-cari, tetapi bila laan memancing-mancing juga, janganlah mundur.
Menangguk di air keruh.
Suka mencari keuntungan dalam keadaan yang kacau-balau.
Menjilat air liur.
Dahulu dicela, sekarang dipuji-puji lagi.
Masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang kerbau menguak.
Di mana kita tinggal hendaklah mengikuti adat-istiadat setempat.
Masuk di telinga kanan, keluar di telinga kiri.
Tidak menuruti nasehat yang sudah diberikan.
Mempertinggi tempat jatuh.
Mencari alasan yang bukan-bukan untuk memperberat kesalahan.
Makan hati berulam jantung.
Amat bersusah hati akibat perbuatan orang lain.
Musang berbulu ayam.
Orang jahat berlaku seperti orang baik.
Membuang garam ke laut.
Memberi bantuan uang kepada orang yang kaya raya.
Meludah ke langit tertimpa muka sendiri juga.
Melawan orang yang berkuasa atau kaya, kita akan mendapat susah.
Membangkitkan batang terpendam.
Menimbulkan kembali nama baik atau keluarga atau negara yang tercela.
Mumbang jatuh kelapa jatuh.
Maut tidak memandang umur, baik tua atau muda dapat mati.
Mencabik baju di dada.
Membuka rahasia pribadi sendiri.
Menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan.
Mencelakakan teman sendiri dengan sembunyi-sembunyi atau khianat.
Menegakkan benang basah.
Mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sulit dipertahankan.
Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Bila menceritakan cela kaum keluarga sendiri, tentu kita sendiri yang akan mendapat malu.
(N)
Nasib seperti ayam, mengais dahulu baru makan.
Seseorang yang miskin, bekerja keras dahulu untuk mendapatkan sesuap nasi.
Nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri.
Sangat berduka cita.
Nasi sudah menjadi bubur, tak dapat dikedang lagi.
Kesalahan yang amat disesalkan karena tak dapat diperbaiki.
(O)
Orang makan nangka, awak kena getahnya.
Seseorang yang mendapat kesusahan dalam suatu perkara, padahal ia tidak tahu dalam urusan itu.
Obat jerih pelerai demam.
Yang sangat disayangi.
(P)
Pagar makan tanaman.
Orang yang wajib memelihara tetapi malah merusaknya.
Panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.
Kebaikan yang banyak, hilang seketika akibat kesalahan yang fatal.
Pikir itu pelita hati.
Sebelum mengerjakan sesuatu pekerjaan, hendaklah dipikirkan dahulu baik buruknya dan langkah-langkahnya.
Pandai berminyak air.
Pandai mempergunakan sesuatu yang kurang berharga, tetapi hasilnya sangat memuaskan.
Pandang jauh dilayangkan, pandang dekat ditukikkan.
Sesuatu hal yang telah dipertimbangkan masak-masak.
Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.
Supaya tidak menyesal nantinya, maka pikirlah masak-masak sebelum dikerjakan.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Mendapat sesuatu yang diperlukan.
(R)
Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.
Bila ingin pandai, rajin-rajinlah belajar, bila ingin kaya, hemat dan berhati-hatilah.
Rezeki elang tak kan didapat oleh musang.
Rezeki seseorang tidak akan diserobot oleh orang lain.
Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
seia sekata, susah senang sama-sama dirasakan.
Rugi menentang laba, jerih menentang boleh.
Biarlah bersusah payang, asal mendapatkan yang dicita-citakan.
Sekerat ular, sekerat belut.
Seseorang yang tak dapat dipercayai akibat pendiriannya tidak tetap.
Sekepal digunungkan, setitik dilautkan.
Pemberian seseorang walaupun sedikit hendaklah dijunjung tinggi.
Sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain.
Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.
Selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu.
Bersahabat karib.
Seperti mengadu ujung penjahit.
Perlawanan antara dua orang yang sama-sama cerdik, akibatnya tidak ada yang kalah.
Seperti duri dalam daging.
Selalu ingat perasaan yang kurang menyenangkan pikirannya.
Seperti cacing kepanasan.
Seseorang yng sangat gelisah sebab mendapat malu.
Seperti telur diujung tanduk.
Belum tetap dalam suatu pekerjaan, bila salah sedikit saja dapat diberhentikan.
Seperti abu di atas tunggul.
Seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan dalam suatu pekerjaan, bila berbuat salah dapat diberhentikan.
Seperti air di daun talas.
Cepat hilang tak berbekas.
Seperti anak ayam kehilangan induk.
Kesatuan yang pecah-pecah karena ditinggalkanoleh pemimpinnya.
Seperti anjing dengan kucing.
Dua orang yang tak pernah akur.
Seperti pungguk rindukan bulan.
Seseorang yang merindukan sesuatu yang sulit diperolehnya.
Seperti pinang dibelah dua.
Dua orang yang mirip betul.
Seperti api dalam sekam.
Kekecewaan yang dipendam terus, lama-lama akan membahayakan.
Seperti bergantung di rambut sehelai.
Selalu cemas dan sangat tipis harapannya untuk mendapat pertolongan.
Seperti ilmu padi makin berisi, makin tunduk.
Makin tinggi ilmunya makin halus budi pekertinya.
Sepandai-pandai tupai melompat, sekali akan jatuh juga.
Sepandai-pandai orang, barang sekali tentu akan ada pekerjaan yang salah.
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Sekali ketahuan perbuatan yang tidak baik, seumur hidup orang tak mempercayai.
Setinggi-tinggi terbang bangau, hinggapnya ke kubangan juga.
Sejauh-jauh merantau, akhirnya besuk kembali ke kampungnya juga.
(T)
Tangan mencencang, bahu memikul.
Siapa yang membuat salah, harus menanggung akibatnya.
Tegak sama tinggi, duduk sama rendah.
Sama tinggi kedudukannya.
Tong kosong, nyaring bunyinya.
Orang yang besar omongnya itu, biasanya orang yang tidak berilmu.
Tertumpang di biduk tiris.
Sudah terlanjur mengikuti pekerjaan yang merugikan.
Telunjuk lurus, kelingking berkait.
Seseorang yang lahirnya kelihatan baik, tetapi sebenarnya jahat hatinya.
Tinggal kulit pembalut tulang.
Orang yang merana sehingga badannya kurus.
Tak ada gading yang tak retak.
Tak ada sesuatu pekerjaan yang sempurna.
Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Peraturan yang tak pernah berubah.
Tak air talang dipancung.
Untuk menyampaikan sesuatu maksud yang baik, tidak malu melakukan apa saja.
Tak emas bungkal di asah, tak kayu jejang dikeping.
Dikala memerlukan uang, diusahakan sedapat-dapatnya walaupun dengan jalan menjual barang, asal maksud tercapai.
Tiba diperut dikempiskan, tiba dimata dipicingkan.
Seseorang pemimpin yang tidak adil, bila keluarganya yang salah ia pura-pura tidak tahu, tetapi bila orang lain yang bersalah, terus mencelanya.
(U)
Ular berkepala dua.
Kadang-kadang memihak kawan, kadang-kadang memihak lawan.
(Y)
Yang merah saga, yang kurik kundi, yang indah bahasa, yang baik budi.
Walaupun cantik rupawan, tetapi bila tidak berbudi, tidak akan dihormati.
Yang pekak pelepas bedil, yang buta penghembus lesung, yang lumpuh penghalau ayam.
Keahlian tiap-tiap orang dapat dimanfaatkan berdasarkan keahliannya masing-masing.
(Z)
Zaman beralih, musim bertukar.
Sesuatu itu akan berubah, menurut kehendak zaman dan kodrat Tuhan.
Sumber: 1160 peribahasa indonesia
Jumat, 25 November 2011
Sholat Tasbih
Salat Tasbih merupakan salat Sunnah yang di dalamnya pelaku salat akan membaca kalimat tasbih (kalimat "Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar") sebanyak 300 kali (4 raka'at masing-masing 75 kali tasbih). Salat ini diajarkan Rasulullah SAW kepada pamannya yakni sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib. Namun beberapa ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
Hikmah salat adalah dapat mencegah perbuatan keji dan kemungkaran, tentu saja dari salat tasbih yang dilakukan dengan hati yang ikhlas diharapkan akan dapat pula seseorang yang melakukannya dicegah atau terjaga dari perbuata-perbuatan yang keji lagi mungkar.
Niat salat ini, sebagaimana juga salat-salat yang lain cukup diucapkan di dalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat akan tetapi yang terpenting adalah dengan niat hanya mengharapkan Ridho Allah Ta'ala semata dengan hati yang ikhlas dan khusyu.
Salat tasbih dilakukan 4 raka'at (jika dikerjakan siang maka 4 raka'at dengan sekali salam, jika malam 4 raka'at dengan dua salam ) sebagaimana salat biasa dengan tambahan bacaan tasbih pada saat-saat berikut:
No. Waktu Jml. Tasbih
1 Setelah pembacaan surat al fatihah dan surat pendek saat berdiri 15 kali
2 Setelah tasbih ruku' (Subhana rabiyyal adzim...) 10 Kali
3 Setelah I'tidal 10 Kali
4 Setelah tasbih sujud pertama (Subhana rabiyyal a'la...) 10 Kali
5 Setelah duduk di antara dua sujud 10 Kali
6 Setelah tasbih sujud kedua (Subhana rabiyyal a'la...) 10 Kali
7 Setelah duduk istirahat sebelum berdiri (atau sebelum salam tergantung pada raka'at keberapa) 10 Kali
Jumlah total satu raka'at 75
Jumlah total empat raka'at 4 X 75
= 300 kali
[sunting]Perbedaan pendapat ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai salat tasbih, berikut adalah beberapa pendapat mereka :
Pertama: Salat tashbih adalah mustahabbah (sunnah).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama penganut Mazhab Syafi'i. Hadits Rasulullah SAW kepada pamannya Abbas bin Abdul Muthallib yang berbunyi:
"Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar mencintaimu, aku ingin engkau melakukan -sepuluh sifat- jika engkau melakukannya Allah akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh sifat adalah: Engkau melaksankan salat empat rakaat; engkau baca dalam setiap rakaat Al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat pertama dan engkau masih berdiri, mka ucapkanlah: Subhanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Ilallah Wallahu Akbar 15 kali, Kemudian ruku'lah dan bacalah do'a tersebut 10 kali ketika sedang ruku, kemudian sujudlah dan bacalah do'a tersebut 10 kali ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali kemudian sujudlah dan bacalah 10 kali kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali. Itulah 75 kali dalam setiap rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau sanggup untuk melakukannya satu kali dalam setiap hari, maka lakukanlah, jika tidak, maka lakukanlah satu kali seminggu, jika tidak maka lakukanlah sebulan sekali, jika tidak maka lakukanlah sekali dalam setahun dan jika tidak maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu" (HR Abu Daud 2/67-68)
Ibnu Ma'in. An-Nasaiy berkata: Ia tidak apa-apa. Az-Zarkasyi berpendapat: "Hadis shahih dan bukan dhaif". Ibnu As-Sholah: "Haditsnya adalah Hasan"
Kedua: Salat tasbih boleh dilaksanakan (boleh tapi tidak disunnahkan).
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama penganut Mazhab Hambali. Mereka berkata: "Tidak ada hadits yang tsabit (kuat) dan salat tersebut termasuk Fadhoilul A'maal, maka cukup berlandaskan hadits dhaif."
Ibnu Qudamah berkata: "Jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena salat nawafil dan Fadhoilul A'maal tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadits shahih" (Al-Mughny 2/33)
Ketiga: Salat tersebut tidak disyariatkan.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu' berkata: "Perlu diteliti kembali tentang kesunahan pelaksanaan salat tasbih karena haditsnya dhoif, dan adanya perubahan susunan salat dalam salat tasbih yang berbeda dengan salat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan kalau tidak ada hadits yang menjelaskannya. Dan hadits yang menjelaskan salat tasbih tidak kuat".
Ibnu Qudamah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa tidak ada hadis shahih yang menjelaskan hal tersebut. Ibnuljauzi mengatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan salat tasbih termasuk maudhu`. Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis bahwa yang benar adalah seluruh riwayat hadits adalah dhaif meskipun hadits Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, akan tetapi hadits itu syadz karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Dan juga salat tasbih berbeda gerakannya dengan salat-salat yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafiyah dan Malikiyah tidak pernah disebutkan perihal salat tasbih ini kecuali dalam Talkhis Al-Habir dari Ibnul Arabi bahwa beliau berpendapat tidak ada hadits shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang salat tasbih ini.
Kumpulan Salat-Salat Sunnat, Drs. Moh. Rifa'i, CV Toha Putra, Semarang, 1993
Hikmah salat adalah dapat mencegah perbuatan keji dan kemungkaran, tentu saja dari salat tasbih yang dilakukan dengan hati yang ikhlas diharapkan akan dapat pula seseorang yang melakukannya dicegah atau terjaga dari perbuata-perbuatan yang keji lagi mungkar.
Niat salat ini, sebagaimana juga salat-salat yang lain cukup diucapkan di dalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat akan tetapi yang terpenting adalah dengan niat hanya mengharapkan Ridho Allah Ta'ala semata dengan hati yang ikhlas dan khusyu.
Salat tasbih dilakukan 4 raka'at (jika dikerjakan siang maka 4 raka'at dengan sekali salam, jika malam 4 raka'at dengan dua salam ) sebagaimana salat biasa dengan tambahan bacaan tasbih pada saat-saat berikut:
No. Waktu Jml. Tasbih
1 Setelah pembacaan surat al fatihah dan surat pendek saat berdiri 15 kali
2 Setelah tasbih ruku' (Subhana rabiyyal adzim...) 10 Kali
3 Setelah I'tidal 10 Kali
4 Setelah tasbih sujud pertama (Subhana rabiyyal a'la...) 10 Kali
5 Setelah duduk di antara dua sujud 10 Kali
6 Setelah tasbih sujud kedua (Subhana rabiyyal a'la...) 10 Kali
7 Setelah duduk istirahat sebelum berdiri (atau sebelum salam tergantung pada raka'at keberapa) 10 Kali
Jumlah total satu raka'at 75
Jumlah total empat raka'at 4 X 75
= 300 kali
[sunting]Perbedaan pendapat ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai salat tasbih, berikut adalah beberapa pendapat mereka :
Pertama: Salat tashbih adalah mustahabbah (sunnah).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama penganut Mazhab Syafi'i. Hadits Rasulullah SAW kepada pamannya Abbas bin Abdul Muthallib yang berbunyi:
"Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar mencintaimu, aku ingin engkau melakukan -sepuluh sifat- jika engkau melakukannya Allah akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh sifat adalah: Engkau melaksankan salat empat rakaat; engkau baca dalam setiap rakaat Al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat pertama dan engkau masih berdiri, mka ucapkanlah: Subhanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Ilallah Wallahu Akbar 15 kali, Kemudian ruku'lah dan bacalah do'a tersebut 10 kali ketika sedang ruku, kemudian sujudlah dan bacalah do'a tersebut 10 kali ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali kemudian sujudlah dan bacalah 10 kali kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali. Itulah 75 kali dalam setiap rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau sanggup untuk melakukannya satu kali dalam setiap hari, maka lakukanlah, jika tidak, maka lakukanlah satu kali seminggu, jika tidak maka lakukanlah sebulan sekali, jika tidak maka lakukanlah sekali dalam setahun dan jika tidak maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu" (HR Abu Daud 2/67-68)
Ibnu Ma'in. An-Nasaiy berkata: Ia tidak apa-apa. Az-Zarkasyi berpendapat: "Hadis shahih dan bukan dhaif". Ibnu As-Sholah: "Haditsnya adalah Hasan"
Kedua: Salat tasbih boleh dilaksanakan (boleh tapi tidak disunnahkan).
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama penganut Mazhab Hambali. Mereka berkata: "Tidak ada hadits yang tsabit (kuat) dan salat tersebut termasuk Fadhoilul A'maal, maka cukup berlandaskan hadits dhaif."
Ibnu Qudamah berkata: "Jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena salat nawafil dan Fadhoilul A'maal tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadits shahih" (Al-Mughny 2/33)
Ketiga: Salat tersebut tidak disyariatkan.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu' berkata: "Perlu diteliti kembali tentang kesunahan pelaksanaan salat tasbih karena haditsnya dhoif, dan adanya perubahan susunan salat dalam salat tasbih yang berbeda dengan salat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan kalau tidak ada hadits yang menjelaskannya. Dan hadits yang menjelaskan salat tasbih tidak kuat".
Ibnu Qudamah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa tidak ada hadis shahih yang menjelaskan hal tersebut. Ibnuljauzi mengatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan salat tasbih termasuk maudhu`. Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis bahwa yang benar adalah seluruh riwayat hadits adalah dhaif meskipun hadits Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, akan tetapi hadits itu syadz karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Dan juga salat tasbih berbeda gerakannya dengan salat-salat yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafiyah dan Malikiyah tidak pernah disebutkan perihal salat tasbih ini kecuali dalam Talkhis Al-Habir dari Ibnul Arabi bahwa beliau berpendapat tidak ada hadits shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang salat tasbih ini.
Kumpulan Salat-Salat Sunnat, Drs. Moh. Rifa'i, CV Toha Putra, Semarang, 1993
Kamis, 17 November 2011
BER"KURBAN" IDUL ADHA MENURUT TUNTUNAN RASUL
Pada dasarnya kurban adalah sunnah dari beberapa sunnah Rasulullah. Dan hukumnya Wajib bagi yang mampu dalam sabdanya: “man wajada sa’atan falam yudhahh fala yaqrabanna mushallana.( Ahmad bin Hanbal, juz 2 h. 321 dan Ibn Maajah) Barang siapa yg memiliki kemampuan tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati musalla kami
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: tidak ada amalan keturunan Adam yang lebih dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha selain menyembelih kurban sesunggguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat nanti dengan tanduk bulu dan kukunya sesunggguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke bumi yang membuat jiwa merasa senang. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26 Menurut al-Turmuzi hadis ini Hasan Gharib) Bahkan berkurban dilakukan oleh Rasul setiap tahun. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32 Hadis Hasan)
Dalam riwayat lain, kewajiban bagi setiap keluarga di setiap tahun melakukan pemotongan hewan kurban dan ‘atirah (yaitu korban 10 hari pertama bulan rajab), akan tetapi atirah ini sdh mansukh.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 93, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)
‘Atirah sudah dilakukan oleh umat sebelum Islam, lalu setelah muslim seorang sahabat bertanya tentang atirah itu kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah memberikan penjelasan tentang larangan atirah (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 105, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3,)
Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh umat Islam yang akan berkurban
a. Kurban harus dilakukan hanya karena Allah
Orang yang berkurban bukan karena Allah, jangankan ridha Allah, mala ia akan mendapatkan laknat Allah . Sabda Rasulullah, Bahwa Allah melaknat org yg melaknat orang tuanya, orang menyembelih kurban bukan karena Allah, dan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi serta orang yang memindahkan patok/batas kepemilikan tanah. (Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1567, dan al Nasa’I, juz 7, h. 232)
b. Jumlah hewan kurban
a) 2 ekor domba (1 untuk diri dan keluarga dan 1 untuk umat Islam yang tidak sanggup kurban) Rasulullah melakukan kurban dengan dua ekor domba yang sangat baik kualitasnya dan Rasulullah menyembelihnya sendiri (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz 3, h. 2287, 2289, 2291, Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1556-1557, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26-27. Kualitas hadis ini Hasan Sahih, al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 219-221)
Rasul berkurban dengan 2 ekor, satu ekor untuk dirinya sendiri dan keluarganya, satu ekor untuk umatnya yang tidak sanggup berkurban. Hadis berikut: “Tadhhiyyatun Nabi ‘an nafsihi wa ‘amman lam yudhahhi min ummatihi” (Rasululah senantiasa berkurban setiap tahun dengan 2 ekor domba, satu untuk diri dan keluarganya dan satu untuk umatnya. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31)
b) Satu ekor domba (untuk diri dan keluarga)
Dalam realitasnya, Rasul menuntunkan bahwa Berkurban Satu ekor domba untuk satu orang atas namanya dan keluarganya (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31, Hadis Hasan Sahih)
c) Atau Satu ekor sapi untuk 7 orang bersama-sama (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 98, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 30 Menurut al-Turmuzi hadisnya Hasan Sahih. Itu juga dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 221-222, Malik, al-Muwata’, h. 303)
c. Waktu Kurban
1. setelah melontar jamarat, penyembelihan kurban dilakukan setelah melakukan pelontaran jamarat bagi yang melakukan ibadah haji. (Muslim, Sahih Muslim, juz 2, h. 892)
2. selesai salat ‘id, Bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji Penyembelihan hewan kurban dilakukan selesai salat ‘id. Dari al-Barra’ saya mendengar Rasulullah saw berkhutbah bahwa pertama kita memulai hari kita ini kita shalat id, kita kembali dan kita berkurban, siapa yang melakukan maka sesungguhnya itulah sunnah kita yang benar. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 369, h. 378, juz 3, h. 2284, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96)
Berdasarkan hadis di atas, Rasul memberikan urutan kurban selesai salat, pulang dan menyembelih kurban. Penyembelihan hewan yang dilakukan sebelum shalat ‘Idil Adhha sama dengan penyembelihan biasa, dan diperintahkan oleh Rasul untuk menggantinya dengan binatang sembelihan lain. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 378. 382, juz 3, h. 2288Muslim, juz 3, h. 1551-1552, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32-33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 222-224)
d. Bacaan yang dibaca Rasululllah ketika berkurban:
Ada beberapa versi do’a yang dibaca Rasul ketika menyembelih hewan kurban:
1. Berdasarkan Riwayat Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 155, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94, Rasul membaca:
.... ثم قال: باسم الله اللهم تقبل من محمد و أل محمد و من أمة محمد
2. Dalam riwayat lain dalam hadis Riwayat Abu Daud (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 99)
بسم الله والله اكبر هذا عنى و عمن لم يضح من أمتى
3. Dalam riwayat lain, diawali dengan do’a seperti iftitah “ inni wajjahtu ...sampai akhir baru basmallah dan takbir
e. Distribusi daging hewan kurban
1. Orang yang berkurban boleh mendapatkan maksimal 1/3 bagian sementara yang lainnya dibagikan utk orang yang berhak. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.99)
Ketika banyak orang yang berkurban, maka bagian 1/3 ini dapat dimaknai dengan jumlah untuk konsumsi 10 hari .( al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)
2. Pemilik atau Orang yang berkurban hanya mendapat bagian sekedar konsumsi daging untuk 3 hari, tidak boleh makan daging kurban lebih dari 3 hari.i
Rasulullah melarang kami memakan daging kurban lebih dari 3 hari (Muslim, juz 3, h. 1560-1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 33, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 232-233, Malik, al-Muwata’, h. 302)
Alasan yang diberikan oleh Rasul dapat dilihat dari riwayat lain: Rasululah bersabda Saya melarang lebih dari tiga hari agar ada pemerataan perolehan daging diantara mereka yang lemah atau tidak mampu (Muslim, juz 3, h. 1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h.33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 235-236 dan Malik, al-Muwata’, h. 302)
Dalam riwayat dari ‘Aisyah, Rasul melarang mengambil bagian daging kurban lebih dari kebutuhan 3 hari, ketika yang berkurban sedikit, sementara yang tidak berkurban jumlahnya banyak, lebih baik memberikan kurban kepada orang yang tidak berkurban (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 dan badingakan dengan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 236. Dalam beberapa hadis ada penjelasan tentang “memakan daging kurban nya” ditujukan kepada yang berkurban.
3. Penerima daging kurban pun tidak boleh menerima melebihi konsumsi 3 hari, karena dalam beberapa riwayat lain tanpa kata “nya”, jika dikaitkan dengan alasan Rasul tidak membolehkan orang memakan daging kurban lebih dari 3 hari, maka bukan hanya terbatas pada orang yang berkurban tapi juga bagi yang akan menerima kurban. Tidak menumpuk pada orang tertentu. Sehingga harus ada koordinasi antara panitia kurban ttg penerima daging kurban.
Pengecualian atau rukhshah dari aturan maksimal 3 hari:
a. Ketika kondisi umat Islam banyak yang menyembelih hewan kurban
Dalam suatu riwayat, Rasul memberikan alasan boleh labih dari kebutuhan 3 hari ketika kondisi umat banyak yang kurban.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 100)
b. Bagi yang akan membutuhkan bekal di Perjalanan:
Rasul membolehkan menyimpan daging hewan kurban untuk waktu lebih dari tiga hari untuk bekal di perjalanan jauh (Muslim, juz 3, h. 1562)
f. Penyempurna ibadah kurban
Bagi yang berkurban, maka penyempurna idul adha baginya adalah dengan cara tidak memotong kuku, kumis, atau rambut, atau bulu ketiak dan alat vital kecuali setelah melakukan kurban (al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 212-213)
g. Berkurban atas nama yang sudah meninggal
Hanya dilakukan ketika ada wasiat, seperti Telah dicontohkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, memberikan kurban 2 ekor domba, ketika ditanya, ‘Ali menjawab saya diberi wasiat oleh Rasul utk melakukan kurban atas namanya. Maka saya berkurban satu urtk Rasul. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94)
Ada perbedaan pendapat tentang ini, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Menurut ibn Mubarak : lebih baik diberikan sedekah atas namanya, bukan kurban. Tetapi jika dengan kurban, maka tidak boleh diambil sedikitpun untuk dimakan.
Dikutip dari: enizar blog
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: tidak ada amalan keturunan Adam yang lebih dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha selain menyembelih kurban sesunggguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat nanti dengan tanduk bulu dan kukunya sesunggguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke bumi yang membuat jiwa merasa senang. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26 Menurut al-Turmuzi hadis ini Hasan Gharib) Bahkan berkurban dilakukan oleh Rasul setiap tahun. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32 Hadis Hasan)
Dalam riwayat lain, kewajiban bagi setiap keluarga di setiap tahun melakukan pemotongan hewan kurban dan ‘atirah (yaitu korban 10 hari pertama bulan rajab), akan tetapi atirah ini sdh mansukh.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 93, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)
‘Atirah sudah dilakukan oleh umat sebelum Islam, lalu setelah muslim seorang sahabat bertanya tentang atirah itu kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah memberikan penjelasan tentang larangan atirah (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 105, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3,)
Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh umat Islam yang akan berkurban
a. Kurban harus dilakukan hanya karena Allah
Orang yang berkurban bukan karena Allah, jangankan ridha Allah, mala ia akan mendapatkan laknat Allah . Sabda Rasulullah, Bahwa Allah melaknat org yg melaknat orang tuanya, orang menyembelih kurban bukan karena Allah, dan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi serta orang yang memindahkan patok/batas kepemilikan tanah. (Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1567, dan al Nasa’I, juz 7, h. 232)
b. Jumlah hewan kurban
a) 2 ekor domba (1 untuk diri dan keluarga dan 1 untuk umat Islam yang tidak sanggup kurban) Rasulullah melakukan kurban dengan dua ekor domba yang sangat baik kualitasnya dan Rasulullah menyembelihnya sendiri (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz 3, h. 2287, 2289, 2291, Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1556-1557, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26-27. Kualitas hadis ini Hasan Sahih, al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 219-221)
Rasul berkurban dengan 2 ekor, satu ekor untuk dirinya sendiri dan keluarganya, satu ekor untuk umatnya yang tidak sanggup berkurban. Hadis berikut: “Tadhhiyyatun Nabi ‘an nafsihi wa ‘amman lam yudhahhi min ummatihi” (Rasululah senantiasa berkurban setiap tahun dengan 2 ekor domba, satu untuk diri dan keluarganya dan satu untuk umatnya. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31)
b) Satu ekor domba (untuk diri dan keluarga)
Dalam realitasnya, Rasul menuntunkan bahwa Berkurban Satu ekor domba untuk satu orang atas namanya dan keluarganya (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31, Hadis Hasan Sahih)
c) Atau Satu ekor sapi untuk 7 orang bersama-sama (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 98, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 30 Menurut al-Turmuzi hadisnya Hasan Sahih. Itu juga dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 221-222, Malik, al-Muwata’, h. 303)
c. Waktu Kurban
1. setelah melontar jamarat, penyembelihan kurban dilakukan setelah melakukan pelontaran jamarat bagi yang melakukan ibadah haji. (Muslim, Sahih Muslim, juz 2, h. 892)
2. selesai salat ‘id, Bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji Penyembelihan hewan kurban dilakukan selesai salat ‘id. Dari al-Barra’ saya mendengar Rasulullah saw berkhutbah bahwa pertama kita memulai hari kita ini kita shalat id, kita kembali dan kita berkurban, siapa yang melakukan maka sesungguhnya itulah sunnah kita yang benar. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 369, h. 378, juz 3, h. 2284, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96)
Berdasarkan hadis di atas, Rasul memberikan urutan kurban selesai salat, pulang dan menyembelih kurban. Penyembelihan hewan yang dilakukan sebelum shalat ‘Idil Adhha sama dengan penyembelihan biasa, dan diperintahkan oleh Rasul untuk menggantinya dengan binatang sembelihan lain. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 378. 382, juz 3, h. 2288Muslim, juz 3, h. 1551-1552, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32-33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 222-224)
d. Bacaan yang dibaca Rasululllah ketika berkurban:
Ada beberapa versi do’a yang dibaca Rasul ketika menyembelih hewan kurban:
1. Berdasarkan Riwayat Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 155, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94, Rasul membaca:
.... ثم قال: باسم الله اللهم تقبل من محمد و أل محمد و من أمة محمد
2. Dalam riwayat lain dalam hadis Riwayat Abu Daud (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 99)
بسم الله والله اكبر هذا عنى و عمن لم يضح من أمتى
3. Dalam riwayat lain, diawali dengan do’a seperti iftitah “ inni wajjahtu ...sampai akhir baru basmallah dan takbir
e. Distribusi daging hewan kurban
1. Orang yang berkurban boleh mendapatkan maksimal 1/3 bagian sementara yang lainnya dibagikan utk orang yang berhak. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.99)
Ketika banyak orang yang berkurban, maka bagian 1/3 ini dapat dimaknai dengan jumlah untuk konsumsi 10 hari .( al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)
2. Pemilik atau Orang yang berkurban hanya mendapat bagian sekedar konsumsi daging untuk 3 hari, tidak boleh makan daging kurban lebih dari 3 hari.i
Rasulullah melarang kami memakan daging kurban lebih dari 3 hari (Muslim, juz 3, h. 1560-1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 33, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 232-233, Malik, al-Muwata’, h. 302)
Alasan yang diberikan oleh Rasul dapat dilihat dari riwayat lain: Rasululah bersabda Saya melarang lebih dari tiga hari agar ada pemerataan perolehan daging diantara mereka yang lemah atau tidak mampu (Muslim, juz 3, h. 1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h.33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 235-236 dan Malik, al-Muwata’, h. 302)
Dalam riwayat dari ‘Aisyah, Rasul melarang mengambil bagian daging kurban lebih dari kebutuhan 3 hari, ketika yang berkurban sedikit, sementara yang tidak berkurban jumlahnya banyak, lebih baik memberikan kurban kepada orang yang tidak berkurban (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 dan badingakan dengan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 236. Dalam beberapa hadis ada penjelasan tentang “memakan daging kurban nya” ditujukan kepada yang berkurban.
3. Penerima daging kurban pun tidak boleh menerima melebihi konsumsi 3 hari, karena dalam beberapa riwayat lain tanpa kata “nya”, jika dikaitkan dengan alasan Rasul tidak membolehkan orang memakan daging kurban lebih dari 3 hari, maka bukan hanya terbatas pada orang yang berkurban tapi juga bagi yang akan menerima kurban. Tidak menumpuk pada orang tertentu. Sehingga harus ada koordinasi antara panitia kurban ttg penerima daging kurban.
Pengecualian atau rukhshah dari aturan maksimal 3 hari:
a. Ketika kondisi umat Islam banyak yang menyembelih hewan kurban
Dalam suatu riwayat, Rasul memberikan alasan boleh labih dari kebutuhan 3 hari ketika kondisi umat banyak yang kurban.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 100)
b. Bagi yang akan membutuhkan bekal di Perjalanan:
Rasul membolehkan menyimpan daging hewan kurban untuk waktu lebih dari tiga hari untuk bekal di perjalanan jauh (Muslim, juz 3, h. 1562)
f. Penyempurna ibadah kurban
Bagi yang berkurban, maka penyempurna idul adha baginya adalah dengan cara tidak memotong kuku, kumis, atau rambut, atau bulu ketiak dan alat vital kecuali setelah melakukan kurban (al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 212-213)
g. Berkurban atas nama yang sudah meninggal
Hanya dilakukan ketika ada wasiat, seperti Telah dicontohkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, memberikan kurban 2 ekor domba, ketika ditanya, ‘Ali menjawab saya diberi wasiat oleh Rasul utk melakukan kurban atas namanya. Maka saya berkurban satu urtk Rasul. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94)
Ada perbedaan pendapat tentang ini, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Menurut ibn Mubarak : lebih baik diberikan sedekah atas namanya, bukan kurban. Tetapi jika dengan kurban, maka tidak boleh diambil sedikitpun untuk dimakan.
Dikutip dari: enizar blog
Kamis, 13 Oktober 2011
Doa Orang Tua Pada Anaknya, Adalah Doa yang Mustajab
Ini adalah pelajaran yang mesti diketahui setiap orang tua. Doa mereka sungguh ajaib jika itu ditujukan pada anak-anak mereka. Jika ortu ingin anaknya menjadi sholeh dan baik, maka doakanlah mereka karena doa ortu adalah doa yang mudah diijabahi. Namun ingat sebenarnya doa yang dimaksudkan di sini mencakup doa baik dan buruk dari orang tua pada anaknya. Jika ortu mendoakan jelek pada anaknya, maka itu pun akan terkabulkan. Sehingga ortu mesti hati-hati dalam mendoakan anak.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tidak doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797). Dalam dua hadits ini disebutkan umum, artinya mencakup doa orang tua yang berisi kebaikan atau kejelekan pada anaknya.
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua pada anaknya.” (HR. Ibnu Majah no. 3862. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Riwayat ini menyebutkan bahwa doa baik orang tua pada anaknya termasuk doa yang mustajab.
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari membawakan dalam kitab Al Adabul Mufrod beberapa riwayat mengenai doa orang tua. Di antara riwayat tersbeut, Abu Hurairah berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلىَ وَلَدِهِمَا
"Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya." (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod no. 32. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrod no. 24). Hadits ini menunjukkan bahwa doa jelek orang tua pada anaknya termasuk doa yang mustajab. Hal itu dibuktikan dalam kisah Juraij berikut ini. Kisah ini menunjukkan bahwa doa jelek ibunya pada Juraij terkabul. Kisah ini dibawakan pula oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod.
Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ" قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: "فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ - وَهُوَ يُصَلِّي - أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ[1]. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
"Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan Juraij" Lalu ada yang bertanya, ”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?". Beliau lalu bersabda, ”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi/gunung). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).
(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggilnya ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij." Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?" Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, "Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur?"[2] Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.[3]
Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak[4]. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut, ”Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak ini)?" "Dari Juraij?", jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, "Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?" "Benar", jawab wanita itu. Raja berkata, ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari." Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur.[5] Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia.
Raja lalu bertanya padanya, "Siapa ini menurutmu?". Juraij balik bertanya, "Siapa yang engkau maksud?" Raja berkata, "Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu." Juraij bertanya, "Apakah engkau telah berkata begitu?" "Benar", jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ”Di mana bayi itu?" Orang-orang lalu menjawab, "(Itu) di pangkuan (ibu)nya." Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu, ”Siapa ayahmu?" Bayi itu menjawab, "Ayahku si penggembala sapi."
Kontan sang raja berkata, "Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas." Juraij menjawab, "Tidak perlu". "Ataukah dari perak?" lanjut sang raja. "Jangan", jawab Juraij. "Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?", tanya sang raja. Juraij menjawab, "Bangunlah seperti semula." Raja lalu bertanya, "Mengapa engkau tersenyum?" Juraij menjawab, "(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku.” Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod no. 33. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrod no. 25). Lihat [Bukhari: 60-Kitab Al Anbiyaa, 48-Bab ”Wadzkur fil kitabi Maryam”. Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 7-8]
Maka sungguh amat bahaya jika keluar dari lisan orang tua doa jelek pada anaknya sendiri karena doa seperti itu bisa terkabul sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah Juraij di atas. Yang terbaik, hendaklah orang tua mendoakan anaknya dalam kebaikan dan moga anaknya menjadi sholeh serta berada di jalan yang lurus. Ketika marah karena kenakalan anaknya, hendaklah amarah tersebut ditahan. Ingatlah sekali lagi bahwa di saat marah lalu keluar doa jelek dari lisan ortu, maka bisa jadi doa jelek itu terwujud.
Hendaklah orang tua mencontoh para nabi dan orang sholeh yang selalu mendoakan kebaikan pada anak keturunannya. Lihatlah contoh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam di mana beliau berdoa,
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Lihatlah sifat ‘ibadurrahman (hamba Allah) yang berdoa,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74)
Moga Allah memperkenankan doa kita sebagai orang tua yang berisi kebaikan kepada anak-anak kita. Moga anak-anak kita berada dalam kebaikan dan terus berada dalam bimbingan Allah di jalan yang lurus. Jika kita sebagai anak, janganlah sampai durhaka pada orang tua. Banyak-banyaklah berbuat baik pada mereka, sehingga kita pun akan didoakan oleh bapak dan ibu kita.
Semoga sajian singkat di malam ini bermanfaat bagi pembaca setia rumaysho.com sekalian.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 26 Jumadal Ula 1432 H (29/04/2011)
www.rumaysho.com
[1] Maksudnya berasal dari perzinahan.
[2] Inilah doa jelek dari Ibu Juraij.
[3] Shalat yang dilakukan Juraij bukanlah shalat wajib. Sedangkan memenuhi panggilan orang tua itu wajib. Maka ini menunjukkan kelirunya Juraij yang tidak mau memenuhi panggilan ibunya karena perkara wajib tentu saja mesti didahulukan.
[4] Yaitu anak dari hasil zina.
[5] Ini menunjukkan doa jelek ibu Juraij terkabul.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam
dari Rumayso.com
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tidak doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797). Dalam dua hadits ini disebutkan umum, artinya mencakup doa orang tua yang berisi kebaikan atau kejelekan pada anaknya.
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua pada anaknya.” (HR. Ibnu Majah no. 3862. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Riwayat ini menyebutkan bahwa doa baik orang tua pada anaknya termasuk doa yang mustajab.
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari membawakan dalam kitab Al Adabul Mufrod beberapa riwayat mengenai doa orang tua. Di antara riwayat tersbeut, Abu Hurairah berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلىَ وَلَدِهِمَا
"Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya." (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod no. 32. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrod no. 24). Hadits ini menunjukkan bahwa doa jelek orang tua pada anaknya termasuk doa yang mustajab. Hal itu dibuktikan dalam kisah Juraij berikut ini. Kisah ini menunjukkan bahwa doa jelek ibunya pada Juraij terkabul. Kisah ini dibawakan pula oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod.
Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ" قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: "فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ - وَهُوَ يُصَلِّي - أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ[1]. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
"Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan Juraij" Lalu ada yang bertanya, ”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?". Beliau lalu bersabda, ”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi/gunung). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).
(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggilnya ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij." Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?" Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, "Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur?"[2] Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.[3]
Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak[4]. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut, ”Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak ini)?" "Dari Juraij?", jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, "Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?" "Benar", jawab wanita itu. Raja berkata, ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari." Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur.[5] Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia.
Raja lalu bertanya padanya, "Siapa ini menurutmu?". Juraij balik bertanya, "Siapa yang engkau maksud?" Raja berkata, "Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu." Juraij bertanya, "Apakah engkau telah berkata begitu?" "Benar", jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ”Di mana bayi itu?" Orang-orang lalu menjawab, "(Itu) di pangkuan (ibu)nya." Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu, ”Siapa ayahmu?" Bayi itu menjawab, "Ayahku si penggembala sapi."
Kontan sang raja berkata, "Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas." Juraij menjawab, "Tidak perlu". "Ataukah dari perak?" lanjut sang raja. "Jangan", jawab Juraij. "Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?", tanya sang raja. Juraij menjawab, "Bangunlah seperti semula." Raja lalu bertanya, "Mengapa engkau tersenyum?" Juraij menjawab, "(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku.” Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrod no. 33. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrod no. 25). Lihat [Bukhari: 60-Kitab Al Anbiyaa, 48-Bab ”Wadzkur fil kitabi Maryam”. Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 7-8]
Maka sungguh amat bahaya jika keluar dari lisan orang tua doa jelek pada anaknya sendiri karena doa seperti itu bisa terkabul sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah Juraij di atas. Yang terbaik, hendaklah orang tua mendoakan anaknya dalam kebaikan dan moga anaknya menjadi sholeh serta berada di jalan yang lurus. Ketika marah karena kenakalan anaknya, hendaklah amarah tersebut ditahan. Ingatlah sekali lagi bahwa di saat marah lalu keluar doa jelek dari lisan ortu, maka bisa jadi doa jelek itu terwujud.
Hendaklah orang tua mencontoh para nabi dan orang sholeh yang selalu mendoakan kebaikan pada anak keturunannya. Lihatlah contoh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam di mana beliau berdoa,
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Lihatlah sifat ‘ibadurrahman (hamba Allah) yang berdoa,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74)
Moga Allah memperkenankan doa kita sebagai orang tua yang berisi kebaikan kepada anak-anak kita. Moga anak-anak kita berada dalam kebaikan dan terus berada dalam bimbingan Allah di jalan yang lurus. Jika kita sebagai anak, janganlah sampai durhaka pada orang tua. Banyak-banyaklah berbuat baik pada mereka, sehingga kita pun akan didoakan oleh bapak dan ibu kita.
Semoga sajian singkat di malam ini bermanfaat bagi pembaca setia rumaysho.com sekalian.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 26 Jumadal Ula 1432 H (29/04/2011)
www.rumaysho.com
[1] Maksudnya berasal dari perzinahan.
[2] Inilah doa jelek dari Ibu Juraij.
[3] Shalat yang dilakukan Juraij bukanlah shalat wajib. Sedangkan memenuhi panggilan orang tua itu wajib. Maka ini menunjukkan kelirunya Juraij yang tidak mau memenuhi panggilan ibunya karena perkara wajib tentu saja mesti didahulukan.
[4] Yaitu anak dari hasil zina.
[5] Ini menunjukkan doa jelek ibu Juraij terkabul.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam
dari Rumayso.com
Minggu, 09 Oktober 2011
Nonton F1 Di Singapore
Karena belum pernah nonton F1 dimalam hari jadi tertarik untuk nonton F1 di Singapore. Sebelumnya pernah nonton GP di Sepang KL enam tahun lalulah kira kira. tapi kayaknya pengalamannya akan berbeda.
Berangkat 23 Sept 2011 Malam langsung dari kantor dan pulang 26 Sep 2011 pagi langsung ngantor lagi.
Kami beli tiket walkabout yang hari Minggu 25 Sept aja. Sebenarnya sejak Jumat circuit sudah mulai dibuka untuk babak kualifikasi, tapi karena kami pikir kurang seru jadi beli yang Minggu aja. Harga tiket walkabout(tidak disediakan kursi, hanya berdiri dan boleh berpindah pindah dari satu tempat ke tempat yang lain)kira-kira IDR1.100.000,- rate 1Sin=7000IDR.
Mulai Jumat jalanan di sekitaran marina sudah mulai banyak yang ditutup. Jadi jika kita mau pergi ke Merlion saat hari jumat atau sabtu kita harus melewati depan fullerton hotel, jalan lain ditutup.
Yang paling terkesan saat nonton F1 adalah suara brisik mobilnya. Sebenarnya lebih enak nonton di TV karena bisa mengikuti secara keseluruhan jalannya pertandingan. Tapi pengalaman mendengar langsung suara mobil F1 adalah sangat sensasional.
Hal lain enaknya nonton F1 di Sing adalah karena diselenggarakan di tengah kota. Jadi saat malam hari race dipadukan dengan keindahan kota Singapore merupakan pemandangan yang sangat eksotik.
Setelah race selesai biasanya ada pertunjukan musik berkelas international. Saat kami nonton tanggal 25Sept2011 kemaren artisnya adalah group musik Linkin park. Mulai Start maen jam 22.00-24.00 waktu Singapore. Saat nonton konser ada daerah Fan zone (paling dekat kepanggung) yang hanya dapat dimasuki oleh mereka yang punya gelang Fan Zone. Gelang ini dibagikan kepada 2000 orang pertama yang datang. Jadi jika ingin mendapat gelang ini datanglah jam 15.00 saat gate dibuka trus segera lari ke depan panggung konser di Padang stage area dan langsung antri gelang. InsyAllah jika datang jam 15.00 dan masuk dari gate 4 (gate terdekat) pasti akan mendapatkan gelang. Catatan jika antri jam 15.00 dan mau cepat, jangan bawa tas. Bawa aja hp dan dompet dalam saku sehingga bisa langung masuk tanpa melewati pemeriksaan tas dengan sensor.
Berangkat 23 Sept 2011 Malam langsung dari kantor dan pulang 26 Sep 2011 pagi langsung ngantor lagi.
Kami beli tiket walkabout yang hari Minggu 25 Sept aja. Sebenarnya sejak Jumat circuit sudah mulai dibuka untuk babak kualifikasi, tapi karena kami pikir kurang seru jadi beli yang Minggu aja. Harga tiket walkabout(tidak disediakan kursi, hanya berdiri dan boleh berpindah pindah dari satu tempat ke tempat yang lain)kira-kira IDR1.100.000,- rate 1Sin=7000IDR.
Mulai Jumat jalanan di sekitaran marina sudah mulai banyak yang ditutup. Jadi jika kita mau pergi ke Merlion saat hari jumat atau sabtu kita harus melewati depan fullerton hotel, jalan lain ditutup.
Yang paling terkesan saat nonton F1 adalah suara brisik mobilnya. Sebenarnya lebih enak nonton di TV karena bisa mengikuti secara keseluruhan jalannya pertandingan. Tapi pengalaman mendengar langsung suara mobil F1 adalah sangat sensasional.
Hal lain enaknya nonton F1 di Sing adalah karena diselenggarakan di tengah kota. Jadi saat malam hari race dipadukan dengan keindahan kota Singapore merupakan pemandangan yang sangat eksotik.
Setelah race selesai biasanya ada pertunjukan musik berkelas international. Saat kami nonton tanggal 25Sept2011 kemaren artisnya adalah group musik Linkin park. Mulai Start maen jam 22.00-24.00 waktu Singapore. Saat nonton konser ada daerah Fan zone (paling dekat kepanggung) yang hanya dapat dimasuki oleh mereka yang punya gelang Fan Zone. Gelang ini dibagikan kepada 2000 orang pertama yang datang. Jadi jika ingin mendapat gelang ini datanglah jam 15.00 saat gate dibuka trus segera lari ke depan panggung konser di Padang stage area dan langsung antri gelang. InsyAllah jika datang jam 15.00 dan masuk dari gate 4 (gate terdekat) pasti akan mendapatkan gelang. Catatan jika antri jam 15.00 dan mau cepat, jangan bawa tas. Bawa aja hp dan dompet dalam saku sehingga bisa langung masuk tanpa melewati pemeriksaan tas dengan sensor.
Keutamaan Sholat Berjamaah
Shalat berjamaah di masjid buat seorang laki-laki lebih utama dari pada shalat berjamaah di rumahnya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال, “صَلاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وعِشرينَ دَرَجَةً” مُتّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muttafaq ‘alaihi)
وَلَهُمَا عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضيَ اللَّهُ عَنهُ “بِخَمْسٍ وَعشْرين جُزْءًا وَكَذَا لِلْبُخَاريِّ عَنْ أَبي سَعِيدٍ رَضيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ, “دَرَجَةً.”
Dan riwayat kedua namun lewat jalur Abi Hurairah ra. disebutkan, “dengan 25 bagian.” Dan dari riwayat Abi Said menurut Bukhari dengan lafadz; “derajat.”
Beberapa ulama menafsirkan hadits Rasulullah SAW tentang fadhilah shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dari shalat sendirian atau 25 bagian, dengan memberikan beberapa ketentuan, yaitu shalat berjamaah itu dilakukan di masjid di awal waktu.
Adapun shalat berjamaah di rumah, atau di masjid tapi di luar shalat berjamaah yang utama, atau shalat sendirian tapi di masjid, semuanya di luar maksud hadits di atas.
Di antara rahasia fadhilah shalat berjamaah di masjid itu adalah:
1. Sebelum berjalan ke masjid, ketika seseorang berwudhu’ di rumahnya, bukan berwudhu’ di masjid, dia telah mendapatkan pahala atas wudhu’nya.
2. Ketika dia memakai pakaian dan wewangian dengan niat karena akan masuk masjid, maka dia akan mendapat pahala tersendiri. Karena Allah SWT telah memerintahkan agar seseorang berhias setiap masuk masjid.
3. Ketika seseorang berjalan ke masjid dengan melangkahkan kaki, maka tiap langkah kakinya itu mendapatkan kebaikan tersendiri yang mendatangkan pahala.
4. Ketika masuk masjid, seseorang akan mendapat pahala bila membaca doa masuk masjid.
5. Masih ketika masuk masjid, dia juga akan mendapatkan pahala ketika melangkah dengan kaki kanannya.
6. Begitu masuk masjid, seseorang akan mendapat kesempatan mendapatkan pahala dari shalat tahiyatul masjid.
7. Kemudian ketika seseorang duduk di masjid sambil menunggu datangnya waktu shalat, dia sudah terbilang melakukan i’tikaf bila dia meniatkannya. Menurut mazhab As-syafi’iyah, i’tikaf bisa dilakukan asalkan dengan niat dan berdiam di masjid, meski hanya sesaat saja.
8. Begitu adzan berkumandang, dia juga akan mendapatkan kesempatan mendapatkan pahala tersendiri dengan mendengarkan adzan dan menjawabnya. Apalagi bila dia sendiri yang melakukan adzan.
9. Setelah mendengar adzan, dia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan kebaikan lagi ketika membaca doa setelah adzan.
10. Selesai doa adzan, dia akan mendapatkan lagi kesempatan mendapat pahala dengan shalat sunnah qabliyah.
11. Setelah iqamat didengungkan, lalu imam mengatur barisan, dia akan mendapatkan pahala lagi bila ikut memperhatikan imam dan mengatur barisannya agar lurus dan rapat.
12. Pada saat shalat jamaah dilaksanakan, dia akan mengikuti semua gerakan imam dengan baik. Kalau imam berdiri, maka dia berdiri, kalau imam rukuk, maka dia rukuk, kalau imam sujud maka dia ikut sujud. Semua tindakannya mengikuti imam itusudah mendatangkan pahala tersendiri.
13. Ketika imam sampai pada bacaan “waladhdhaallin”, maka dia menjawab, “amiin.” Jawaban itu mendatangkan pahala tersendiri.
14. Dia juga akan mendapatkan pahala tersendiri ketika mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, dibandingkan saat shalat sendirian di rumah, atau berjamaah di rumah. Karena salam itu doa untuk orang yang di kanan dan kirinya. Dan karena di masjid jumlah jamaahnya lebih banyak, maka doa yang akan diterimanya jauh lebih banyak.
15. Selesai shalat wajib, dia akan mendapatkan pahala lagi bila membaca beberapa lafadz dzikir atau doa.
16. Kemudian kesempatan berikutnya lagi adalah ketika dia melakukan shalat sunnah ba’diyah shalat.
17. Di dalam masjid, dia tentu akan bertemu dengan banyak jamaah shalat lainnya. Ketika bertemu dan memberi salam, dia akan mendapatkan pahala tersendiri.
18. Sambil memberi salam, apabila dia juga berjabat tangan, maka dia pun akan mendapatkan pahala tersendiri.
19. Senyumnya kepada sesama saudaranya adalah sedekah. Dan ini akan menambahlagi kesempatannya untuk mendapatkan pahala.
20. Ketika hendak berpisah dengan sesama jamaah di masjid, maka dia akan mendapat pahala bila mengucapkan salam atau membalas salam.
21. Dia juga akan mendapatkan pahala bila diikuti dengan berjabat tangan ketika akan berpisah dengan sesama muslim.
22. Ketika pulang dari masjid, dia membaca doa keluar masjid. Hal itu menambah lagi pahalanya.
23. Di masjid terbuka kesempatan untuk berinfaq, maka bila dia memanfaatkan kesempatan itu, dia akan mendapatkan pahala tersendiri dari berinfaq.
24. Di dalam masjid seringkali digelar khutbah atau majelis ilmu (kultum). Bila dia mendengarkan nasehat dan penyampaian ilmu dengan niat menjalankan perintah Allah SWT dan karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya, maka dia akan mendapatkan kebaikan tersendiri.
25. Ketika keluar, dia melangkah dengan kaki kirinya. Satu lagi tambahan pahala akan didapatnya.
26. Ketika pulang, dia mengambil jalan lain yang tidak sama dengan jalan yang dilewati saat pergi ke masjid. Ini adalah sunnah Rasulullah SAW yang tentu mendatangkan pahala tersendiri.
27. Setiap langkah kaki saat pulang dari masjid, maka dia akan mendapatkan pahala lain tersendiri.
Butir-buitr kesempatan memetik pahala di atas bukan didapat dari nash yang sharih dan menyatu, melainkan dari berbagai dalil yang berserak-serak, kemudian dikumpulkan. Tentu saja jumlahnya tidak hanya 27 bagian saja, pasti akan ada lebih banyak lagi.
Namun uraian di atas hanya sekedar memberikan contoh salah satu versi ijtihad para ulama ketika menguraikan rahasia mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama dari shalat yang lainnya.
Tentu saja tidak semua orang yang shalat di masjid berjamaah akan mendapatkan semua kesempatan itu. Sebab tidak semuanya melakukan hal-hal di atas.
Tapi intinya kami ingin memberikan pemaparan bahwa di balik keutaman shalat berjamaah di masjid itu, memang ada alasan-alasan logis yang bisa ditarik sebagai landasan.
Paling tidak, hal-hal di atas akan memberikan alasan mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama untuk dikerjakan.
Wallahu a’lam bishshawab
Dikutip dari Komunitas DUDUNG.net
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال, “صَلاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وعِشرينَ دَرَجَةً” مُتّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muttafaq ‘alaihi)
وَلَهُمَا عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضيَ اللَّهُ عَنهُ “بِخَمْسٍ وَعشْرين جُزْءًا وَكَذَا لِلْبُخَاريِّ عَنْ أَبي سَعِيدٍ رَضيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ, “دَرَجَةً.”
Dan riwayat kedua namun lewat jalur Abi Hurairah ra. disebutkan, “dengan 25 bagian.” Dan dari riwayat Abi Said menurut Bukhari dengan lafadz; “derajat.”
Beberapa ulama menafsirkan hadits Rasulullah SAW tentang fadhilah shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dari shalat sendirian atau 25 bagian, dengan memberikan beberapa ketentuan, yaitu shalat berjamaah itu dilakukan di masjid di awal waktu.
Adapun shalat berjamaah di rumah, atau di masjid tapi di luar shalat berjamaah yang utama, atau shalat sendirian tapi di masjid, semuanya di luar maksud hadits di atas.
Di antara rahasia fadhilah shalat berjamaah di masjid itu adalah:
1. Sebelum berjalan ke masjid, ketika seseorang berwudhu’ di rumahnya, bukan berwudhu’ di masjid, dia telah mendapatkan pahala atas wudhu’nya.
2. Ketika dia memakai pakaian dan wewangian dengan niat karena akan masuk masjid, maka dia akan mendapat pahala tersendiri. Karena Allah SWT telah memerintahkan agar seseorang berhias setiap masuk masjid.
3. Ketika seseorang berjalan ke masjid dengan melangkahkan kaki, maka tiap langkah kakinya itu mendapatkan kebaikan tersendiri yang mendatangkan pahala.
4. Ketika masuk masjid, seseorang akan mendapat pahala bila membaca doa masuk masjid.
5. Masih ketika masuk masjid, dia juga akan mendapatkan pahala ketika melangkah dengan kaki kanannya.
6. Begitu masuk masjid, seseorang akan mendapat kesempatan mendapatkan pahala dari shalat tahiyatul masjid.
7. Kemudian ketika seseorang duduk di masjid sambil menunggu datangnya waktu shalat, dia sudah terbilang melakukan i’tikaf bila dia meniatkannya. Menurut mazhab As-syafi’iyah, i’tikaf bisa dilakukan asalkan dengan niat dan berdiam di masjid, meski hanya sesaat saja.
8. Begitu adzan berkumandang, dia juga akan mendapatkan kesempatan mendapatkan pahala tersendiri dengan mendengarkan adzan dan menjawabnya. Apalagi bila dia sendiri yang melakukan adzan.
9. Setelah mendengar adzan, dia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan kebaikan lagi ketika membaca doa setelah adzan.
10. Selesai doa adzan, dia akan mendapatkan lagi kesempatan mendapat pahala dengan shalat sunnah qabliyah.
11. Setelah iqamat didengungkan, lalu imam mengatur barisan, dia akan mendapatkan pahala lagi bila ikut memperhatikan imam dan mengatur barisannya agar lurus dan rapat.
12. Pada saat shalat jamaah dilaksanakan, dia akan mengikuti semua gerakan imam dengan baik. Kalau imam berdiri, maka dia berdiri, kalau imam rukuk, maka dia rukuk, kalau imam sujud maka dia ikut sujud. Semua tindakannya mengikuti imam itusudah mendatangkan pahala tersendiri.
13. Ketika imam sampai pada bacaan “waladhdhaallin”, maka dia menjawab, “amiin.” Jawaban itu mendatangkan pahala tersendiri.
14. Dia juga akan mendapatkan pahala tersendiri ketika mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, dibandingkan saat shalat sendirian di rumah, atau berjamaah di rumah. Karena salam itu doa untuk orang yang di kanan dan kirinya. Dan karena di masjid jumlah jamaahnya lebih banyak, maka doa yang akan diterimanya jauh lebih banyak.
15. Selesai shalat wajib, dia akan mendapatkan pahala lagi bila membaca beberapa lafadz dzikir atau doa.
16. Kemudian kesempatan berikutnya lagi adalah ketika dia melakukan shalat sunnah ba’diyah shalat.
17. Di dalam masjid, dia tentu akan bertemu dengan banyak jamaah shalat lainnya. Ketika bertemu dan memberi salam, dia akan mendapatkan pahala tersendiri.
18. Sambil memberi salam, apabila dia juga berjabat tangan, maka dia pun akan mendapatkan pahala tersendiri.
19. Senyumnya kepada sesama saudaranya adalah sedekah. Dan ini akan menambahlagi kesempatannya untuk mendapatkan pahala.
20. Ketika hendak berpisah dengan sesama jamaah di masjid, maka dia akan mendapat pahala bila mengucapkan salam atau membalas salam.
21. Dia juga akan mendapatkan pahala bila diikuti dengan berjabat tangan ketika akan berpisah dengan sesama muslim.
22. Ketika pulang dari masjid, dia membaca doa keluar masjid. Hal itu menambah lagi pahalanya.
23. Di masjid terbuka kesempatan untuk berinfaq, maka bila dia memanfaatkan kesempatan itu, dia akan mendapatkan pahala tersendiri dari berinfaq.
24. Di dalam masjid seringkali digelar khutbah atau majelis ilmu (kultum). Bila dia mendengarkan nasehat dan penyampaian ilmu dengan niat menjalankan perintah Allah SWT dan karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya, maka dia akan mendapatkan kebaikan tersendiri.
25. Ketika keluar, dia melangkah dengan kaki kirinya. Satu lagi tambahan pahala akan didapatnya.
26. Ketika pulang, dia mengambil jalan lain yang tidak sama dengan jalan yang dilewati saat pergi ke masjid. Ini adalah sunnah Rasulullah SAW yang tentu mendatangkan pahala tersendiri.
27. Setiap langkah kaki saat pulang dari masjid, maka dia akan mendapatkan pahala lain tersendiri.
Butir-buitr kesempatan memetik pahala di atas bukan didapat dari nash yang sharih dan menyatu, melainkan dari berbagai dalil yang berserak-serak, kemudian dikumpulkan. Tentu saja jumlahnya tidak hanya 27 bagian saja, pasti akan ada lebih banyak lagi.
Namun uraian di atas hanya sekedar memberikan contoh salah satu versi ijtihad para ulama ketika menguraikan rahasia mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama dari shalat yang lainnya.
Tentu saja tidak semua orang yang shalat di masjid berjamaah akan mendapatkan semua kesempatan itu. Sebab tidak semuanya melakukan hal-hal di atas.
Tapi intinya kami ingin memberikan pemaparan bahwa di balik keutaman shalat berjamaah di masjid itu, memang ada alasan-alasan logis yang bisa ditarik sebagai landasan.
Paling tidak, hal-hal di atas akan memberikan alasan mengapa shalat berjamaah di masjid lebih utama untuk dikerjakan.
Wallahu a’lam bishshawab
Dikutip dari Komunitas DUDUNG.net
Selasa, 04 Oktober 2011
Memanjangkan Pakaian Menutup Mata kaki Saat Sholat
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
1. hal itu disebut isbal , Isbal (tidak membuat pakaian menjela/memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasul saw dalam sholat dan diluar shalat,
Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg menyeret nyeret pakaiannya (menjela pakaiannya/jubahnya krn sombong maka Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat (murka)" lalu berkata Abubakar shiddiq ra : Wahai Rasulullah..., pakaianku menjela.., maka berkata Rasul saw : "Sungguh kau memperbuat itu bukan karena sombong" (Shahih Bukhari Bab Manaqib).
berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar mengenai syarah hadits ini : "kesaksian Nabi saw menafikan makruh perbuatan itu" (Fathul Baari bisyarh shahih Bukhari Bab Manaqib).
jelaslah sudah bahwa perbuatan itu tidak makruh apalagi haram, kecuali jika diperbuat karena sombong,
dimasa itu bisa dibedakan antara orang kaya dg orang miskin adalah dilihat dari bajunya, baju para buruh dan fuqara adah pendek hingga bawah lutut diatas matakaki, karena mereka pekerja, tak mau pakaiannya terkena debu saat bekerja,
dan para orang kaya dan bangsawan memanjangkan jubahnya menjela ketanah, karena mereka selalu berjalan diatas permadani dan kereta, jarang menginjak tanah,
maka jadilah semacam hal yg bergengsi, memakai pakaian panjang demi memamerkan kekayaannya, dan itu tak terjadi lagi masa kini, orang kaya dan miskin sama saja, tak bisa dibedakan dengan pakaian yg menjela.
jelas dibuktikan dengan riwayat shahih Bukhari diatas, bahwa terang2an abubakar shiddiq ra berpakaian spt itu tanpa sengaja, namun Rasul saw menjawab : "Kau berbuat itu bukan karena sombong"
berarti yg dilarang adalah jika karena sombong.
Source: Majelis rasulullah
Perspektif Lain:
Saya sering melihat pria yang sholat dengan sarung di atas mata kaki. Apakah itu dianjurkan dalam sholat? Jika memang dianjurkan, apa dalilnya?
Perilaku tersebut berdasarkan dalil hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaiannya melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan terakhir dari hadits di atas fa laisa min Allah fi hillin wa laa haraamin oleh Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah. Lebih jelas baca Faidul Qodir Juz 6 halaman 68.
Namun dengan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Abdullah Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan bajunya karena sombong/tinggi hati, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat". Kemudian Abu Bakar Assiddiq berkata, "Salah satu dari bagian bajuku (selalu) terjulur kecuali bila aku menjaganya terus (agar tidak terjulur)." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat demikian tidak karena sombong". (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Karena itu pulalah Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Pernyataan Habib Husein ini diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.”
Source: Pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Nurul Huda, rubrik tanya jawab
kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
1. hal itu disebut isbal , Isbal (tidak membuat pakaian menjela/memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasul saw dalam sholat dan diluar shalat,
Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg menyeret nyeret pakaiannya (menjela pakaiannya/jubahnya krn sombong maka Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat (murka)" lalu berkata Abubakar shiddiq ra : Wahai Rasulullah..., pakaianku menjela.., maka berkata Rasul saw : "Sungguh kau memperbuat itu bukan karena sombong" (Shahih Bukhari Bab Manaqib).
berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar mengenai syarah hadits ini : "kesaksian Nabi saw menafikan makruh perbuatan itu" (Fathul Baari bisyarh shahih Bukhari Bab Manaqib).
jelaslah sudah bahwa perbuatan itu tidak makruh apalagi haram, kecuali jika diperbuat karena sombong,
dimasa itu bisa dibedakan antara orang kaya dg orang miskin adalah dilihat dari bajunya, baju para buruh dan fuqara adah pendek hingga bawah lutut diatas matakaki, karena mereka pekerja, tak mau pakaiannya terkena debu saat bekerja,
dan para orang kaya dan bangsawan memanjangkan jubahnya menjela ketanah, karena mereka selalu berjalan diatas permadani dan kereta, jarang menginjak tanah,
maka jadilah semacam hal yg bergengsi, memakai pakaian panjang demi memamerkan kekayaannya, dan itu tak terjadi lagi masa kini, orang kaya dan miskin sama saja, tak bisa dibedakan dengan pakaian yg menjela.
jelas dibuktikan dengan riwayat shahih Bukhari diatas, bahwa terang2an abubakar shiddiq ra berpakaian spt itu tanpa sengaja, namun Rasul saw menjawab : "Kau berbuat itu bukan karena sombong"
berarti yg dilarang adalah jika karena sombong.
Source: Majelis rasulullah
Perspektif Lain:
Saya sering melihat pria yang sholat dengan sarung di atas mata kaki. Apakah itu dianjurkan dalam sholat? Jika memang dianjurkan, apa dalilnya?
Perilaku tersebut berdasarkan dalil hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaiannya melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan terakhir dari hadits di atas fa laisa min Allah fi hillin wa laa haraamin oleh Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah. Lebih jelas baca Faidul Qodir Juz 6 halaman 68.
Namun dengan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Abdullah Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan bajunya karena sombong/tinggi hati, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat". Kemudian Abu Bakar Assiddiq berkata, "Salah satu dari bagian bajuku (selalu) terjulur kecuali bila aku menjaganya terus (agar tidak terjulur)." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat demikian tidak karena sombong". (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Karena itu pulalah Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Pernyataan Habib Husein ini diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.”
Source: Pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Nurul Huda, rubrik tanya jawab
Rabu, 21 September 2011
Nasehat Kematian Umar bin Abdul Aziz ra.
(Mengenang Teman kami Ir. Bramasta Suroso) - Wafat Sept 2011
Nasehat Kematian Umar bin Abdul Aziz ra.
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur jenazah tadi. beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya”.
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku? ”. Mereka menjawab,”Tentu”. Umar berkata,”Kuburan ini memanggilku dan berkata,”Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?” “Tentu” jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?”. “Tentu”, jawabku. “Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan, dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya”.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis, dan berkata, “Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia.
Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal didalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya – tak boleh begini dan begitu –, dan banyak orang yang dengki kepadanya.
Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya.
Tetapi ketika semuanya berlalu, dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan.
Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah… apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan… dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah.
Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja.
Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan”. Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu… dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu, dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi.
Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?”.
Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga ia dirahmati Allah.
Nasehat Kematian Umar bin Abdul Aziz ra.
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur jenazah tadi. beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya”.
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku? ”. Mereka menjawab,”Tentu”. Umar berkata,”Kuburan ini memanggilku dan berkata,”Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?” “Tentu” jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?”. “Tentu”, jawabku. “Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan, dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya”.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis, dan berkata, “Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia.
Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal didalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya – tak boleh begini dan begitu –, dan banyak orang yang dengki kepadanya.
Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya.
Tetapi ketika semuanya berlalu, dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan.
Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah… apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan… dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah.
Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja.
Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan”. Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu… dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu, dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi.
Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?”.
Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga ia dirahmati Allah.
Hukum Adzan dan Iqomah Ketika Pemakamam
Hukum Adzan dan Iqamat Ketika Pemakaman
Posted on 01/04/2010 by Fadhl Ihsan| Tinggalkan komentar
Soal : Apa hukum adzan dan iqamah ketika menguburkan mayat tepatnya ketika meletakkannya di liang lahat?
Jawab : Tidak diragukan sama sekali bahwa perbuatan itu adalah bid’ah yang mana Allah tidak menurunkan penjelasan tentang itu. Perbuatan itu tidak dinukil dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam dan tidak pula dari para sahabat.
Kebaikan hanyalah ketika ittiba’ kepada mereka dan meniti jalan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ’ala:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara Orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…” (At Taubah : 100)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa mengada-adakan hal baru didalam perkara kami yang tidak ada dalil di dalamnya, maka tertolak.” (Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa mengerjakan apa-apa tanpa adanya perintah dari kami, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR. Muslim)
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, dan setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya dineraka.” (HR. Muslim dan yang selainnya)
(Syaikh ibnu Baaz, Majmu’ Fatawa, hal. 757)
Sumber: http://ashthy.wordpress.com/2007/03/17/adzan-dan-iqomah-ketika-menguburkan-mayat/
Posted on 01/04/2010 by Fadhl Ihsan| Tinggalkan komentar
Soal : Apa hukum adzan dan iqamah ketika menguburkan mayat tepatnya ketika meletakkannya di liang lahat?
Jawab : Tidak diragukan sama sekali bahwa perbuatan itu adalah bid’ah yang mana Allah tidak menurunkan penjelasan tentang itu. Perbuatan itu tidak dinukil dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam dan tidak pula dari para sahabat.
Kebaikan hanyalah ketika ittiba’ kepada mereka dan meniti jalan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ’ala:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara Orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…” (At Taubah : 100)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa mengada-adakan hal baru didalam perkara kami yang tidak ada dalil di dalamnya, maka tertolak.” (Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa mengerjakan apa-apa tanpa adanya perintah dari kami, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR. Muslim)
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, dan setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya dineraka.” (HR. Muslim dan yang selainnya)
(Syaikh ibnu Baaz, Majmu’ Fatawa, hal. 757)
Sumber: http://ashthy.wordpress.com/2007/03/17/adzan-dan-iqomah-ketika-menguburkan-mayat/
Jumat, 26 Agustus 2011
Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah
Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah
Penulis: Ummu ‘Athiyah
Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.
Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).
Maroji’:
Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari.
Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Penulis: Ummu ‘Athiyah
Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.
Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).
Maroji’:
Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari.
Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Jumat, 05 Agustus 2011
Perjalanan Ke Macau (July 2011)
Pada liburan July 2011 kami jalan jalan ke Macau.
Brangkat Jumat 9 Juli 2011 sore, Endah bawa mobil sama abang dan adek jemput aku dikantor. Pesawat malam jam 21.00. Eh Endah macet dan kuatir telat. akhirnya sampai kantor hampir jam 19.00. langsung cabut ke airport.
Trus akhirnya Zaenal yang nganterin, karena dia juga perlu mobil katanya mau pulang kampung. Tapi dari ktr di kemayoran menuju airpor macet juga. Hah gak ada yang lancar di JKT kalau jumat sore mah. Tapi akhirnya tiba juga di airport sambil buru buru masih bisa juga.
Sampai Singapore jam 12 Malam. Langsung cari hotel diairport. Seandainya gak dapet kepikiran tidur d airport Changi aja karena besok pesawat ke Macau jam 12.00. Sebenernya aku ud pesen online sebulan sebelumnya di Ambassador Transit hotel ini tapi selalu waiting list.
Trus kami berempat langsung naik ke lt 2 di terminal 1 menuju transit hotel. Ternyata penuh. Trus officernya bilang tunggu dia mau telpon ke terminal 3 sapa tau masih ada. Ternyata ada 2 kamar dan saya langsung pesen. Aman tidur malam itu.
Jadinya kami ke terminal 3 dan masuk hotel. Tapi karena lapar keluar lagi sama abang dan adek cari makan. Itu ud jam 2malam lho. Tapi masih ada burger King dan beberapa restoran buka. Akhirnya kami makan nasi ayam hainan berbeque. Hah enaknya kata adek....
Bersambung.....
Brangkat Jumat 9 Juli 2011 sore, Endah bawa mobil sama abang dan adek jemput aku dikantor. Pesawat malam jam 21.00. Eh Endah macet dan kuatir telat. akhirnya sampai kantor hampir jam 19.00. langsung cabut ke airport.
Trus akhirnya Zaenal yang nganterin, karena dia juga perlu mobil katanya mau pulang kampung. Tapi dari ktr di kemayoran menuju airpor macet juga. Hah gak ada yang lancar di JKT kalau jumat sore mah. Tapi akhirnya tiba juga di airport sambil buru buru masih bisa juga.
Sampai Singapore jam 12 Malam. Langsung cari hotel diairport. Seandainya gak dapet kepikiran tidur d airport Changi aja karena besok pesawat ke Macau jam 12.00. Sebenernya aku ud pesen online sebulan sebelumnya di Ambassador Transit hotel ini tapi selalu waiting list.
Trus kami berempat langsung naik ke lt 2 di terminal 1 menuju transit hotel. Ternyata penuh. Trus officernya bilang tunggu dia mau telpon ke terminal 3 sapa tau masih ada. Ternyata ada 2 kamar dan saya langsung pesen. Aman tidur malam itu.
Jadinya kami ke terminal 3 dan masuk hotel. Tapi karena lapar keluar lagi sama abang dan adek cari makan. Itu ud jam 2malam lho. Tapi masih ada burger King dan beberapa restoran buka. Akhirnya kami makan nasi ayam hainan berbeque. Hah enaknya kata adek....
Bersambung.....
Bagaimana Rasulullah Sholat Tarawih/Lail
Penulis: AL Ustadz Zuhair Syarif
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Langganan:
Postingan (Atom)