Pada dasarnya, tak ada ayat al-qur’an yang menyinggung
secara jelas dan spesifik atas metode penentuan awal bulan hijriyah. Yang ada
hanyalah panduan umum untuk menggunakan matahari dan bulan sebagai patokan
dalam mengetahui perputaran waktu (Al-‘Anam: 96, Yunus: 5, Ar-Rohman: 5). Ayat
185 surat Al-Baqoroh yang diduga sebagai landasan penetapan awal bulan Islam
(khususnya bulan Ramadlan) sebenarnya sama sekali tidak menyinggung tentang
metode penetuan awal bulan dalam Islam, hal ini sedikitnya karena empat alasan:
Pertama: Kata شهد
dalam bahasa arab tidak mempunyai arti melihat, tetapi ada di tempat atau tidak
bepergian, dan juga mengetahui. Sementara yang mempunyai arti melihat adalah شاهد dengan tambahan alif
setelah syin. Bisa juga kata شهد
berarti mengetahui, sehingga artinya mengetahui masuknya bulan Ramadlon.[1]
Kedua: Kalimat selanjutnya yaitu فمن كان
منكم مريضا أو على
سفر menjadi penguat atas
kata شهد dengan arti
hadir di tempat.[2]
Ketiga: Dan jika saja kata شهد
diartikan dengan melihat, maka puasa Ramadan hanya wajib bagi orang yang
melihat bulan saja, sedangkan yang lain tidak.[3]
Keempat: ال
dalam kata الشهر
berfungsi للمعهود السابق (penyebutan sesuatu yang
telah lewat), sehingga maksud الشهر
dalam ayat tersebut bukanlah bulan muda, melainkan bulan Ramadan.[4]
Oleh karena itu, metode penetapan awal bulan dalam Islam
hanya didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, bukan pada Al-Qur’an.
Hadist-hadist shahih menetapkan bahwa dalam menentukan awal bulan Hijriyah,
khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan salah satu dari tiga
metode: pertama melihat hilal (ru’yatul hilal), kedua menyempurnakan bulan yang
bersangkutan (ikmal), dan yang ketiga memperkirakan “keberadaan” hilal (dengan
ilmu hisab/falak). Hanya saja cara yang terakhir ini masih dipertentangkan oleh
para sarjana fiqih Islam.
Perbedaan penentuan awal bulan-bulan hijriyah khususnya pada
tiga bulan penting; Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, bersumber pada dua
pijakan yang dijadikan acuan oleh masing-masing madzhab dalam penetapan awal
bulan Islam. Kedua pijakan tersebut adalah:
1. Rukyah al-Hilal (رؤية
الهلال)
Rukyah merupakan isim masdar yang berasal dari kata (رأى – يرى – رؤية)
ra’a – yaro – ru’yatan. Artinya melihat, dan objeknya (maf’ul bih) harus
berbentuk benda konkrit, dapat dilihat oleh mata kepala. Seperti dalam QS
Al-An’am ayat 76-78:
فَلَمَّا
جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ
هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ
قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
(76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغاً
قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا
أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ
يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ
الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً
قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا
أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ
إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ(78)
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu)
dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”(76) Kemudian tatkala dia
melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu
terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” (77) Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (78)”
Sedangkan hilal adalah kata isim yang terbentuk dari tiga
huruf asal yaitu ha-lam-lam, sama dengan terbentuknya kata fi’il Ahalla (أهلّ). Hilal menurut Kholil Bin
Ahmad Al-Farohidi dalam kamusnya yang diberi nama Al-‘Ain adalah bulan sabit
yang tampak di awal bulan. Menurut Al-Jauhary dalam As-Shihahnya adalah bulan
sabit pada hari pertama, kedua dan ketiga setiap bulan, setelah itu barulah
disebut bulan biasa (قمر).
Sedangkan menurut pengarang kamus Al-Muhith, Fairuzabadi, hilal adalah bulan
yang tampak pada hari pertama sampai ketujuh, juga pada dua hari di akhir
bulan, selainnya dinamai bulan biasa. Kata أهلّ
dalam konteks hilal berarti terbit/muncul/tampak (طلع/ظهر)
dan melihat (أبصر).
Ahallan naas al-hilal fi gorrotis syahr (أهلّ
الناس في غرة الشهر)artinya
orang banyak melihat bulan sabit di awal bulan. ُUhillal
hilal artinya bulan sabit telah terlihat/tampak. Ahlalna hilala syahri kadza;
kami telah melihat bulan sabit pada bulan ini.
Jadi hilal adalah bulan sabit (crescent) yang tampak di awal
bulan (karena untuk mengetahui awal bulan). Atau lebih detilnya adalah bagian
dari bulan yang cahayanya terlihat dari bumi sesaat setelah matahari terbenam
pada hari setelah terjadinya konjungsi (bulan berada diantara Matahari dan
Bumi).
Kesimpulannya, rukyah al-hilal adalah melihat, mengamati
atau observasi secara langsung terhadap penampakan bulan sabit, baik
menggunakan mata kepala langsung maupun dengan alat bantu.
Para penganut madzhab rukyah ini mendasarkan pendapatnya
pada beberapa teks syari’, baik Qur’an maupun Hadist. Diantarnya:
1. Q.S. Al-Baqoroh ayat 189
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوْاْ الْبُيُوتَ
مِن ظُهُورِهَا وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُواْ
الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُواْ
اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
“Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya; dan bertawakallah kepada Allah agar kamu beruntung.”
2. Hadist Ibnu ‘Umar
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ
وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ( رواه
البخاري)
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ
قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ
فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى
تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى
تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ ( رواه مسلم)
“Jangan kalian berpuasa sampai melihat bulan sabit, dan
jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya. Dan jika mendung menghalangi
maka kadarkanlah padanya”
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ
قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا
تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا
أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ( رواه مسلم)
“Satu bulan ada 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa
hingga melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga melihatnya, kecuali
jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.”
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ
فِي الثَّالِثَةِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ ( رواه
مسلم)
“Bulan itu seperti ini, seperti ini, dan seperti ini.
Kemudian beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya. Maka Berpuasalah saat
kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah juga di saat telah melihatnya
(hilal bulan Syawal). Dan jika terhalangi mendung, maka tentukanlah padanya 30
hari”
3. Hadist Abu Hurairoh
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ
بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ
فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا
ثَلَاثِينَ يَوْمًا ( رواه مسلم)
“Jika kalian melihat bulan, maka berpuasalah, dan jika
kalian melihatnya maka berbukalah. Tapi jika kalian tertutupi mendung, maka
berpuasalah tigapuluh hari.”
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ
أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
( رواه البخاري)
“Berpuasalah pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan
berbukalah di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal), Dan apabila tertutup
mendung, maka genapkanlah bulan Sya’ban 30 hari.”
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَلَّامٍ الْجُمَحِيُّ
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ
عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ ( رواه مسلم)
“Berpuasalah pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan
berbukalah di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal). Dan apabila tertutup
mendung, maka sempurnakanlah bilangannya (genapkanlah bulannya).”
و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُا قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ
الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ ( رواه مسلم)
“Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya
(bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan
Syawal) Dan apabila bulan tertutup mendung, maka genapkanlah 30 hari”
Sistem rukyah yang banyak dianut oleh umat Islam ini tak
luput dari polemik di dalamnya. Oleh sebab itu, sistem inipun melahirkan
berberapa perbedaan pendapat:
1. Adanya wacana rukyah lokal, rukyah nasional, dan rukyah
global.
2. Kebolehan pengunann alat-alat bantu modern dalam melihat
bulan.
3. Pendasaran rukyah minus hisab dan rukyah plus hisab.
2. Hisab (الحساب)
Secara etimologi, hisab berarti hitungan. Berasal dari suku
kata hasaba-yahsubu-hisaban-husbanan (حسب – يحسب – حسابا
– حسبانا). Sedang dalam
istilah astronomi atau penanggalan, hisab adalah ilmu yang mempelajari
(tatacara) perhitungan benda-benda langit -khususnya bumi, bulan, dan matahari-
pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk mengetahui posisi satu dengan
lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi. Ilmu hisab disebut
juga ilmu falak –dan nama ini yang paling masyhur, karena ilmu ini bersangkutan
dengan benda-benda langit. Disebut juga ilmu rashd, karena ilmu ini memerlukan
pengamatan (الرصد =
pengamatan). Disebut juga ilmu miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang
batas-batas waktu (الميقات
= batas-batas waktu).
Ada beberapa dalil yang dipakai oleh para penganut madzhab
hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah.
Hadist Ibnu ‘Umar
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ
سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا
نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي
مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ ( رواه
البخاري)
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan
tidak menghitung bulan seperti ini dan seperti ini. yakni kadang 29 hari dan
kadang 30 hari.”
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ ح
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ
ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ
قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ
بْنَ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ
أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا
نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا
وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
( رواه مسلم)
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan
tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau
menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti
ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).”
2. Hadits Rukyah Al-Hilal
Hadits yang dijadikan pegangan oleh para penganut rukyah,
dijadikan pula pijakan oleh kelompok penganut hisab dalam masalah penentuan
permulaan bulan hijriyah. Yang berbeda hanyalah pemahman atas teks-teks hadist
tersebut. Jika ahli rukyah mendefinisikan kata ra’a dan rukyah pada redaksi
hadits diatas dengan penglihatan mata kepala, maka ahli hisab berpendapat lain.
Mereka mendefinisikannya dengan أدرك
/ علم, yakni
memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal). Dan juga diartikan
حسِب / ظنّ, yakni
menduga/yakin/berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).
Ahli hisab juga memilih untuk smemaknai kata فاقدروا له yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan
Muslim dengan arti “maka perkirakanlah,” disebabkan kata tersebut dalam ilmu
ushul fiqh merupakan kata mujmal atau dalam ilmu mantiq disebut kata musytarok
)multi makna/homograph(.
Metode Hisab Bulan Qomariyah (Lunar)
Tahun qomariyah berpijakan pada peredaran Bulan yang
mengelilingi planet Bumi. Karena itu bulan dalam Kalender Islam dimulai setelah
tenggelamnya matahari. Dalam penyusunan kalendr qomariyah, ada dua metode hisab
yang digunakan, dan keduanya mengacu pada perputaran bulan tersebut. Metode
tersebut adalah Hisab Urfi dan Hisab Haqiqi.
a. Hisab Urfi
Adalah hisab yang memakai metode sederhana dalam
perhitungannya. Dalam metode ini, bulan qomariyah ditentukan dengan umur
rata-rata bulan. Maksudnya, dalam setahun umur bulan ada yang berjumlah 29 dan
30 hari. Bulan ganjil berumur 30 hari, sedang bulan genap 29 hari. Tetapi
khusus bulan ke 12 (Dzulhijjah) pada tahun kabisat qomariyah berumur 30 hari.
b. Hisab Haqiqi
Dalam metode atau system hisab haqiqi, perhitungan bulan
qomariyah didasarkan pada masa peredaran Bulan sebenarnya (haqiqi). Karena itu,
masa antara dua konjungsi (ijtima) tidak selalu sama setiap bulannya, kadang 29
hari 6 jam dan beberapa menit, kadang pula 29 hari 19 jam dan beberapa menit.
Jadi umur bulan yang selalu bervariasi dalam Hisab ‘Urfi tidak bisa diterapkan
dalam metode ini. Sehingga boleh jadi bulan berumur 29 atau 30 berturut-turut.
Banyak metode hisab yang dikembangkan pada hisab haqiqi ini.
Dan dari segi akurasinya metode-metode hisab kategori ini dibagi menjadi tiga
maca, yaitu: Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer.
Taqribi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak
berdasarkan perhitungan yang sifatnya “kurang-lebih”, yakni membagi dua selisih
waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Yang termasuk kelompok
ini antara lain Sullamun Nayyiroyn oleh Muhammad Manshur Ibn Abdil Hamid ibn
Muhammad ad-Damiri al-Batawi dan Fathur Rauful Mannan oleh KH Dahlan Semarang.
Tahqiqi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak
dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Yang termasuk kelompok
ini antara lain Khulashotul Wafiyah oleh KH Zubeir, Badi’atul Mitsal oleh KH
Ma’shum dan Nurul Anwar oleh KH Nur Ahmad.
Kontemporer sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan
derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data
astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan
terbaru. Yang termasuk kelompok ini antara lain New Comb, Astronomic Almanac,
Nautical Almanac, Islamic Calender, dan Astronomical Formula for Computer.
Sistem hisab tak luput juga dari pertentangan di dalamnya.
Karena itu, perbedaan penentuan awal bulan qamariyah dengan sistem Hisab
mungkin saja terjadi, hal tersebut dikarenakan beberapa fakotr, diantaranya:
Perbedaan akurasi perhitungan antara metoda-metoda hisab
Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer.
Perbedaan pandang mengenai dasar penentunya, apakah
didasarkan pada Waktu Ijtima’ sebelum terbenam matahari, apakah posisi bulan
diatas ufuk secara mutlak (Wujudul Hilal), atau Imkanur Rukyah.
Perbedan posisi tempat di berbagai belahan bumi (Mathla’).
Hisab Dan Rukyah Adalah Hilal, Hanya Beda Arti
Hisab dan rukyah seperti sekeping mata uang, tak bias
dipisahkan. Prosesi rukyah akan cacat jika tidak ditunjang dengan data-data
hisab. Sehingga dengan bantuan hisab, rukyah akan lebih terfokus. Begitu juga
hisab, kevalidannya tak akan terbukti jika mengabaikan observasi langsung,
karena hanya akan menjadi hipotesis tanpa bukti belaka. Karena itu, hisab dan
rukyah tidak bisa dipisahkan atau ditempatkan pada posisi yang berlawanan,
apalagi dibandingkan mana yang lebih valid atau unggul. Pertentangan dua
madzhab di atas -yang pada hakikatnya mengacu pada bulan sabit (hilal atau
crescent) sebagai titik awal bulan qomariya- timbul karena pemahaman yang
berbeda atas arti hilal.
Dalam konsep penganut hisab, hilal adalah Bulan yang
“posisinya sudah di atas ufuk” pada saat terbenamnya matahari dan setelah
berlangsungnya ijtima’. Jadi Kriteria Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan
Hijriyah menurut mereka adalah: “Jika setelah terjadi ijtimak (konjungsi),
bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai
awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat
matahari terbenam”. Walaupun ada sebahagian kalangan ahli hisab yang mematok
tinggi bulan sabit harus tidak kurang dari 2 derajat di atas horizon setelah
terjadinya ijtimak dan terbenamnya matahari.
Sedang Hilal dalam konsep penganut rukyah adalah Bulan sabit
yang “dilihat pertama kali” sesaat setelah terbenamnya matahari paska ijtima’.
Jadi dalam pandangan penganut rukyah, Hilal dianggap dapat terlihat dan
malamnya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi
salah satu syarat-syarat berikut:
Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison
tidak kurang dari 2°, dan
Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi/lintang) tidak
kurang dari 3°, atau
Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam
selepas ijtima’ berlaku.
Perbedaan dalam memahami arti hilal inilah yang sampai saat
ini menyebabkan sering terjadinya dua atau lebih awal Puasa, Idul Fitri, dan
Idul Adha, di samping persoalan sosial lainnya seperti revalitas dan fanatisme.
Jika saja pemahaman hilal sudah disepakati bersama oleh dua madzhab ini, maka
harapan umat Islam Indonesia untuk melaksanakan ibadah puasa dan merayakan dua
hari raya secara bersama-sama dan dalam keadaan lebih tenang akan terwujud
dengan lebar.
Sikap Yang Harus Diambil Masyarakat Umum
Masalah perbedaan dalam penentuan awal bulan hijiriyah tentu
membingungkan banyak orang, terutama orang awam yang tidak tahu-menahu tentang
seluk-beluk tata cara penentuan tersebut, diperparah lagi oleh sikap fanatisme
yang kadang sampai pada titik mencemooh satu sama lain. Karena hal tersebut,
sikap yang pantas diambil oleh kebanyakan masyarakat umum (awam) adalah
mengikuti maklumat yang ditetapkan oleh pemerintah yang diwakili oleh
Departemen Agama. Karena sikap ini lebih maslahat untuk merekatkan persaudaraan
antar sesama, juga merupakan cerminan atas wahyu Allah SWT. surat An-Nisa ayat
59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Tripoli, Senin 09 Ramadhan 1429 H
08 September 2008/08 Al-Fatih 1376 w.r.
Disarikan dari berbagai sumber dan pengalaman pribadi
mengaji kitab Sullamun Nayyiroin karangan Muhammad Manshur Ibn Abdil Hamid ibn
Muhammad ad-Damiri al-Batawi Jakarta.
[1]. Lihat: Tafsit At-tahrir wa At-tanwir, Ibn ‘Asyuur,
dalam ayat 185 surat Al-Baqoroh.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid.
Sumber: Kompasiana 18 Juli 2012